Jakarta, CNN Indonesia --
Partai Komunis China (PKC) merupakan partai berkuasa Negeri Tirai Bambu.
PKC secara resmi merupakan penganut ateis atau sebutan bagi orang yang tak percaya dengan keberadaan Tuhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Partai tersebut melarang anggota mereka untuk percaya akan agama tertentu. PKC juga mengusir anggota partai yang ikut dalam organisasi keagamaan tertentu.
Beberapa pejabat mengatakan keanggotaan PKC dan kepercayaan terkait agama tidak sesuai. PKC juga mengimbau anggota partai dan keluarga mereka agar tak berpartisipasi secara publik dalam acara keagamaan.
Pada 2017, media resmi PKC mewanti-wanti anggota mereka untuk tak percaya pada agama, menyebutkan sebagai "anestesi spiritual."
[Gambas:Video CNN]
Selain itu, sosiologis Kristen, Profesor Fenggang Yang, mengungkapkan bahwa "jika Anda ingin bergabung dengan Partai Komunis, atau Liga Komunis Muda, Anda harus mendeklarasikan diri Anda ateis."
Ateis merupakan bagian dari kurikulum "dari sekolah dasar hingga kuliah," katanya lagi, dikutip dari ABC News.
Meski begitu, PKC mengakui lima agama di China, yakni Buddha, Katolik, Taoisme, Islam, dan Protestan, dikutip dari CFR.
Pasal 36 dalam Konstitusi China menyatakan bahwa warga "menikmati kebebasan kepercayaan agama." Konstitusi itu melarang diskriminasi berdasarkan agama dan melarang badan pemerintah, organisasi publik, bahkan individu untuk memaksa warga percaya atau tak percaya atas agama tertentu.
Namun, di bawah kepemimpinan Xi Jinping, pemerintah China memperkuat kendali mereka atas agama.
Sebagaimana diberitakan ABC News, penganut Buddha Tibet ditangkap karena merilis gambar Dalai Lama. Vatikan juga diharuskan untuk menunjuk uskup yang mendukung PKC.
Lanjut baca di halaman berikutnya...
Selain itu, toko online dilarang menjual Alkitab.
Di Xinjiang, ribuan masjid dihancurkan. PKC juga sering melakukan tindakan keras kepada etnis Uighur yang mayoritas beragama Muslim.
Walaupun begitu, upaya Xi Jinping menindak tegas agama ini pernah dilakukan oleh pemimpin China sebelumnya, Mao Zedong.
Dalam Revolusi Budaya, Mao Zedong mencoba menghapus agama secara keseluruhan.
"Seluruh aula keagamaan ditutup sehingga tak ada lagi gereja, atau kuil, atau masjid yang dibuka untuk aktivitas keagamaan," kata Yang lagi.
Ia kemudian berucap, "Beberapa pemimpin organisasi keagamaan yang membangkang entah dikirim ke penjara atau kamp kerja paksa."
Namun, agama tak hilang, melainkan bergerak "di bawah tanah."
Beberapa kuil Buddha mengirim biksu dan biarawati mereka ke kampung halaman. Sementara itu, beberapa kuil diubah menjadi komune.
"Pada siang hari, [biksu] akan dikirim ke lapangan untuk kerja, tetapi pada malam hari, beberapa biksu bermeditasi, dengan tenang melafalkan Sutra Hati," tutur Yang.
"Jadi Buddha tetap hidup," lanjutnya.
Sementara itu, banyak umat Kristen menjalankan ritual keagamaan mereka di gua-gua untuk berdoa, menyanyikan lagu-lagu pujian, dan menceritakan testimoni mereka.
Dalam perjalanan ke China, seorang pemimpin gereja setempat menunjuk ke lereng bukit dan memberi tahu Yang bahwa, "di situlah kami biasa bertemu di malam hari."
"Jika polisi menemukan mereka, mereka bakal membubarkan diri ke hutan," kata Yang, merujuk pada cerita pemimpin gereja itu.
Setelah Mao Zedong meninggal dunia dan Beijing menerapkan kebijakan terbuka di bawah pemimpin Deng Xiaoping, ritual keagamaan kembali muncul.
"Pihak berwenang berpikir banyak orang tidak memerlukan agama lagi, khususnya masyarakat muda," tutur Yang.
"Hanya masyarakat tua yang beragama sebelum 1949 mungkin masih memerlukan agama, tetapi setelah mereka mati, agama akan mati," katanya lagi.
"Namun yang mengejutkan adalah selama Anda membuka kuil, atau gereja, atau masjid, tidak hanya mereka yang memiliki keyakinan yang datang."