Jakarta, CNN Indonesia --
Partai Komunis China (PKC) dinilai tak peduli terhadap peran perempuan sejak Xi Jinping menjabat sebagai presiden sekaligus sekretaris jenderal partai tersebut.
Para pengamat dan aktivis menilai terdapat ketimpangan gender yang signifikan di era Xi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama dia menjadi pemimpin hanya ada sejumlah perempuan dalam politik dan di pemerintahan.
Pakar politik China di Institusi Brooking, Cheng Li, mengatakan di bawah pemerintahan Xi suara perempuan tak diprioritaskan.
Sekitar 10 sampai 15 tahun lalu padahal koalisi yang bersaing dalam politik berusaha meraih suara perempuan dan menunjuk mereka sebagai wakil dalam pemerintahan.
[Gambas:Video CNN]
"Tren sekarang selalu perempuan menjabat sebagai wakil atau posisi yang lebih simbolis," kata Li, seperti dikutip Channel News Asia, Selasa (18/10).
Ketimpangan itu juga terlihat di struktur PKC. Salah satunya di posisi penting partai, Komite Tetap Politbiro, yang beranggotakan tujuh orang, dan seluruhnya merupakan laki-laki.
Sementara itu, untuk Politbiro terdiri dari 25 orang, dan satu-satunya kandidat perempuan yang bisa bergabung adalah Shen Yiqin. Ia merupakan ketua partai tingkat provinsi.
Anggota perempuan sebelumnya, Sun Chunlan, diperkirakan akan pensiun karena usia dia yang sudah 72 tahun.
Posisi strategis selanjutnya yakni Komite Sentral. Di komite ini, jumlah perempuan hanya 10 atau 8 persen dari 203 anggota.
Sementara itu untuk calon pengganti dari 168 kandidat, hanya ada 20 yang merupakan perempuan.
Pekan ini, PKC tengah menggelar kongres rutin dalam lima tahunan. Mereka yang hadir tercatat 2.280 anggota. Dari jumlah ini, hanya ada 550 perempuan.
Politisi perempuan yang hanya segelintir di tubuh PKC tampak bertentangan dengan misi partai yang ingin menunjukkan keterwakilan perempuan.
Kemunduran bagi emansipasi kaum perempuan di China, lanjut baca di halaman berikutnya...
Kemunduran Bagi Kaum Perempuan
Pada 2021, keterwakilan perempuan di PKC meningkat jadi 29 persen, dibanding 2012 lalu yang hanya 24 persen.
Angka itu meningkat karena ada perempuan di sejumlah daerah yang membuat kemajuan signifikan di China, terutama di sektor bisnis.
Namun, bagaimanapun pengamat kajian China di Institut Mercator, Valarie Tan, tetap menilai bahwa minimnya perempuan di pemerintahan berarti kemunduran bagi perempuan.
"Ini benar-benar menyaring hal yang kita lihat di masyarakat, hak-hak perempuan, rata-rata kelahiran, ketimpangan gender, dan kekerasan domestik," kata Tan.
Pandangan Tan berbeda dengan pernyataan di situs Federasi Perempuan pada 27 September lalu. Dalam situs itu tertuang bahwa China membuat kemajuan dalam program perempuan selama satu dekade ini.
Perempuan di Negeri Tirai Bambu juga disebut menikmati hak yang sama.
Di waktu yang sama saat banyak negara berusaha mengikis ketimpangan gender di ruang kerja, pendidikan, kesehatan dan politik, China justru bak melanggengkannya.
Menurut Forum Ekonomi Dunia, China sekarang menduduki peringkat ke 102 dari 146 negara dalam hal ketimpangan gender.
Di era Xi Jinping, suara-suara feminis juga diberangus dalam beberapa tahun terakhir. Para pengamat juga menilai pemerintah menekankan nilai-nilai tradisional seperti perempuan sekadar menjadi ibu dan penjaga.
Pada Juli 2021, Xi mengatakan betapa penting kesetaraan gender, tetapi dia juga menekankan perempuan China harus menjadi istri yang baik dan ibu yang baik.
"[Perempuan harus mengemban] misi zaman mereka, menghubungkan masa depan dan nasib mereka, dengan masa depan dan nasib ibu pertiwi," ujar Xi ketika itu.
Di bawah pemerintahan Xi, suara-suara feminis China juga diberangus.
Pihak berwenang menangkap para feminis yang menyuarakan gerakan #MeToo sebagai perlawanan terhadap kekerasan seksual di China. Pemerintah juga membatalkan acara, diskusi, penyensoran terhadap segala hal yang berkaitan dengan itu.
"Gerakan feminis ini sangat lemah dan tak punya kebebasan untuk berkembang," kata pejuang hak-hak perempuan dan founder media Feminist Voices, Lu Pin.
Pin kemudian beujar,"Banyak gerakan sosial dibungkam dan perempuan tidak akan punya kebebasan."