Sebelum Indonesia, setidaknya tujuh negara lain juga pernah dihantui kematian massal akibat gagal ginjal akut yang dikaitkan dengan obat sirop.
Di India, insiden semacam ini sebenarnya sudah terjadi sejak medio 1970-an dan terulang beberapa kali setelah itu.
Setelah itu, delapan negara lainnya juga sempat dihantui fenomena serupa, yaitu Panama, China, Haiti, Bangladesh, Nigeria, Gambia, dan baru-baru ini Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akar masalah di kesembilan negara itu sama, yaitu obat sirop yang mengandungetilenglikol (EG),dietilenglikol (DEG), danetilenglikolbutil ether (EGBE).
Sebagai negara dengan industri farmasi yang terus berkembang, India gempar ketika pada 1972, 15 anak di Chennai meninggal dunia akibat konsumsi obat yang mengandung DEG.
Setelah itu, India masih digentayangi masalah serupa hingga empat kali. Pada 1986, 14 anak di Mumbai meninggal dunia, disusul 11 pasien di gelombang selanjutnya di Bihar dua tahun kemudian.
Satu dekade berselang, 33 anak di Gurgaon kemudian dilaporkan meninggal dunia karena kasus serupa pada 1998. Terakhir, insiden yang sama menewaskan 11 anak di Jammu pada Desember 2019.
Seorang aktivis kesehatan India, Dinesh S. Thakur, lantas mengajukan petisi ke Kementerian Kesehatan untuk meminta transparansi data guna mencegah kejadian serupa.
Namun, birokrasi rumit ditambah ketiadaan kemauan politik di India membuat proses tersebut sangat lamban.
"Bagian menyedihkannya adalah baik kelas birokrasi mau pun politik tampak tan tertarik menangani masalah yang kami angkat," kata Thakur kepada NPR.
Putus asa,Thakur akhirnya menulis buku bertajuk The Truth Pill yang dirilis pada 10 Oktober lalu.
Hanya dalam tujuh bulan dari November 1995 hingga Juni 1996, 86 anak di Haiti dilaporkan meninggal dunia akibat gagal ginjal akut.
Kematian besar-besaran ini menyedot perhatian internasional hingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan sejumlah badan kesehatan dunia lainnya turun tangan.
Usai penyelidikan panjang, para ahli kesehatan menemukan 79 persen anak yang meninggal itu mengonsumsi salah satu dari dua obat sirop buatan lokal, yaitu Afebril dan Valodon.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) melaporkan bahwa kedua obat tersebut mengandung DEG, yang biasanya dipakai di pabrik-pabrik tekstil.
Pada 2006, China juga gempar ketika 18 pasien rumah sakit di Guangzhou, Provinsi Guangdong, meninggal dunia setelah diberi obat untuk masalah kantung kemih, Amillarisin A.
Setelah diselidiki, obat itu terkontaminasi DEG. Namun saat itu, pemerintah tak berbuat banyak untuk mengatasi masalah farmasi tersebut.
Baru setahun kemudian, Perdana Menteri China, Wen Jiabaoi, memerintahkan penyelidikan atas kematian tersebut.
"Ada yang tidak beres di pasar farmasi," katanya, seperti dilansir The New York Times.
Belum rampung proses penyelidikan di China, Panama tiba-tiba melaporkan kematian massal akibat gagal ginjal akut pada 2007.
Setelah penelusuran lebih lanjut, para korban mengonsumsi obat dari produsen China. Obat yang mengandung DEG itu dijual dengan nama TD Glycerine alias "pengganti gliserin."
Badan Pangan dan Obat-obatan China membantah terlibat dalam skandal ini. Media SINA melaporkan bahwa China menyalahkan warga Panama yang menjadi perantara, Aduanas Javier de Gracia.
Menurut badan pemerintahan China itu, Gracia mengganti nama obat tersebut hanya menjadi "gliserin" ketika mengisi dokumen di bea cukai Panama.
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>