Namun, perubahan mulai terasa seiring berjalannya waktu. Terlebih, ketika Saudi dipimpin Muhammad bin Salman (MbS). Diketahui, MbS banyak membuat terobosan baru di negaranya.
Pada sebuah wawancara, Ia mengaku memimpikan 'satu negara Islam moderat yang toleran pada seluruh agama dan pada dunia'.
MBS mengambil langkah untuk membatasi kekuasaan ulama garis keras dan sheikh terkenal yang mendorong pandangan Islam tanpa kompromi di negaranya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, Ia juga menyebut hubungan negara Saudi dengan aliran Wahabi merupakan satu masalah. Puluhan tokoh keagamaan ternama Saudi ditahan dalam operasi yang diperintah olehnya.
MbS menyampaikan penyebaran paham wahabi adalah konsekuensi dari permintaan negara Barat agar Arab Saudi mempergunakan sumber dayanya di negara-negara Islam untuk melawan Uni Soviet ketika terjadi Perang Dingin.
"Saya percaya bahwa Islam itu masuk akal, Islam itu sederhana, dan banyak orang yang berupaya membajaknya," kata dia dalam wawancara dengan harian Washington Post kala itu.
Lebih lanjut, paham wahabi tengah menjadi sorotan di Indonesia.
Pasalnya Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta agar pemerintah membuat regulasi melarang penyebaran paham wahabi di hasil rekomendasi eksternal dalam Rapat Kerja Nasional Lembaga Dakwah PBNU di Asrama Haji Jakarta, 25-27 Oktober 2022.
Menurut LD PBNU, kelompok yang mengikuti paham wahabi kerap menuding bidah hingga mengkafirkan tradisi keagamaan yang dilakukan mayoritas umat Islam di Indonesia. Imbasnya, sering terjadi perdebatan pada masyarakat Islam di akar rumput.
Meski banyak dikenal sebagai ajaran Wahabi bagi Indonesia, mazhab resmi Saudi sebenarnya adalah Hambali.
Mazhab itu mengacu dari ulama besar Ahmad ibnu Hambal yang lebih dikenal Imam Hambali. Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri salah satu ulama di abad 20 yang menafsirkan dan menulis kembali karya-karya Imam Hambali dalam Islam.
(pop/bac)