Absen di Tiga KTT, Dunia Internasional Mulai Asingkan Putin?
Presiden Rusia Vladimir Putin resmi tak menghadiri tiga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diselenggarakan di tiga negara Asia Tenggara pada November 2022.
Putin absen pertama kali saat KTT Asean digelar di Phnom Penh, Kamboja pada 10-12 November lalu. Saat itu delegasi Rusia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov.
Sepekan setelahnya, Putin juga diketahui tak hadir secara fisik di KTT G20 Bali pada 15-16 November lalu. Kehadirannya pada awalnya akan kembali diwakili oleh Layrov yang baru kembali dari KTT Asia Timur pada 13 November.
Namun, ia justru meninggalkan Bali lebih dahulu pada hari pertama Selasa (15/11) dan digantikan oleh Menteri Keuangan Anton Siluanov.
Untuk KTT yang ketiga yakni KTT APEC yang digelar di Bangkok, Thailand, pada Kamis (17/11), Putin juga dipastikan absen dan digantikan oleh Deputi Pertama Perdana Menteri Rusia Andrei Belousov.
Dengan absennya Putin di tiga KTT besar untuk kawasan Asia-Pasifik itu, maka pertanyaan mengenai peran Putin di geopolitik kawasan ini mulai muncul.
Putin, yang memimpin serangan ke Ukraina selama sembilan bulan terakhir telah menghancurkan negara Eropa dan mengguncang ekonomi global, menolak untuk menghadiri pertemuan diplomatik manapun.
Sikap ini justru mendapati dirinya menjadi sasaran kecaman yang signifikan karena oposisi internasional terhadap perangnya juga semakin menguat.
Bahkan seorang pejabat AS yang enggan diungkap identitasnya melontarkan klaim ini menjelang rangkaian KTT G20 di Bali pada hari ini, Selasa (15/11).
Dia menyebut para pemimpin negara sepakat bahwa perang Rusia merupakan akar dari penderitaan ekonomi yang dirasakan masyarakat global.
"Saya pikir Anda akan melihat sebagian besar anggota G20 menjelaskan bahwa mereka mengecam perang Rusia di Ukraina, bahwa mereka melihat perang Rusia di Ukraina sebagai akar sumber penderitaan ekonomi dan kemanusiaan yang sangat besar di dunia," katanya, seperti dikutip AFP.
Menurut peneliti geopolitik dari Carnegie Endowment for International Peace Alexander Gabuev, ketakutan Putin akan konfrontasi politik dari pihak internasional yang signifikan akan ditujukan terhadapnya jika ia meninggalkan Moscow.
Terlebih, Rusia juga mengalami kerugian besar di medan perang kala menyerang Ukraina hingga saat ini.
Selain itu, Gabuev juga menyoroti jika Putin mungkin saja tidak ingin kehadirannya justru mengubah pemikiran para pemimpin negara-negara yang selama ini tetap bersahabat dengan Rusia seperti India dan China, yang mana kedua pemimpin negara ini sempat ditemui oleh Putin di Uzbekistan pada September lalu.
"Dia tidak ingin menjadi orang yang dianggap menyebalkan," kata Gabuev.
Negara-negara tersebut kini diduga kehilangan kesabaran terhadap Rusia, meski sebelumnya tak menyatakan perlawanan kerasnya terhadap Putin.
Permasalahan energi, ketahanan pangan, serta resesi ekonomi global yang kini tengah merebak tentu menjadi alasan munculnya fenomena tersebut. Dampak invasi Rusia ke Ukraina dianggap sebagai kambing hitam utama atas berbagai persoalan yang muncul itu.
Indonesia sebagai tuan rumah KTT G20 di Bali, pada dasarnya memang belum secara eksplisit mengutuk Rusia atas agresinya ke Ukraina.
Namun Presiden Joko Widodo dengan gamblang mengatakan kepada para pemimpin dunia bahwa "kita harus bersama-sama mengakhiri perang," ujarnya dalam pidato hari pertama KTT G20 Bali, Selasa (15/11).
Sementara itu, India yang selama ini menjadi pembeli utama energi milik Rusia juga menyerukan sikap agar dunia bisa kembali kepada gencatan senjata di KTT G20 lalu.
"Hari ini sudah tidak boleh lagi ada peperangan," ujar delegasi India di KTT G20 senada dengan pernyataan PM Modi kepada Putin di Uzbekistan beberapa saat lalu.
Di sisi lain, pakar masih belum dapat menilai soal sikap China yang selama ini pemimpinnya, Xi Jinping, memiliki hubungan paling dekat dengan Putin.
Sikap Beijing pada saat itu jelas menolak pendapat yang menyatakan bahwa Rusia melakukan invasi. China justru mengecam sanksi dari pihak Barat dan menyalahkan AS dan NATO atas konflik tersebut.
Di sela-sela pertemuan dengan para pemimpin Barat minggu lalu, Xi menegaskan kembali seruan China untuk gencatan senjata melalui dialog, dan setuju untuk menentang penggunaan senjata nuklir di Ukraina.
Pernyataan ini diterjemahkan langsung oleh interpretator Xi, tetapi akhirnya pernyataan itu tidak termasuk dalam pernyataan resmi China setelahnya.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi kemudian memastikan kepada media pemerintah China bahwa Xi telah menegaskan kembali posisi China dalam pertemuan bilateralnya dengan Presiden AS Joe Biden di sela-sela G20.
Dikutip via CNN, pernyataan Wang Yi yang mewakili Xi berisikan, "senjata nuklir tidak dapat digunakan dan perang nuklir tidak dapat dilakukan."
Sikap China di Halaman Berikutnya...