Salah seorang ayah berujar setidaknya belasan keluarga menghadapi masalah serupa. Banyak di antaranya bahkan merupakan warga asli Singapura.
"Anda melakukan itu terhadap warga negara Anda sendiri dan itu kejam. Kalian menghukum anak itu," katanya.
Para keluarga LGBT ini pun menganggap pencabutan UU kriminalisasi seks gay tak berarti banyak. Bagi Chiong, pencabutan UU itu merupakan "satu langkah maju dan 10 langkah mundur."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apa yang coba dilakukan pemerintah? Apakah mereka mencoba memberitahumu, 'Biarkan anakmu pergi'?" kata perempuan berusia 42 tahun tersebut.
Sejauh ini, belum ada tanggapan dari pemerintah terkait pertanyaan Reuters soal hak keluarga LGBT dan tempat tinggal serta akses pendidikan anak-anak mereka.
Tak hanya keluarga LGBT, kelompok-kelompok aktivis hak asasi manusia juga menganggap problematika ini sebagai momok penting.
Mereka mempermasalahkan kebijakan Singapura terkait berbagai masalah terkait keluarga LGBT, termasuk adopsi, surrogate mother atau ibu pengganti, pendidikan, media, hingga tempat tinggal.
Menurut mereka, kebijakan-kebijakan Singapura itu membuat anak-anak dari keluarga LGBT secara efektif dihukum hanya karena menjadi bagian dari keluarga non-tradisional.
Ivan Cheong, seorang pengacara keluarga LGBT, menegaskan anak-anak dari siapa pun yang tinggal di Singapura setidaknya berhak untuk mendaftar "di sekolah swasta dan dengan tarif yang tidak disubsidi" seperti keinginan banyak orang tua.
Namun, pemerintah sendiri dianggap tak leluasa bergerak karena sejumlah konservatif berpengaruh saja sudah menentang keras pencabutan larangan seks gay.
Aliansi lebih dari 80 gereja Singapura, misalnya, mengecam pencabutan larangan seks gay sebagai "keputusan yang sangat disesalkan" yang "merayakan homoseksualitas"
(blq/has/bac)