Kriminalisasi Seks Gay Dicabut, Keluarga LGBT Singapura Tetap Nelangsa
Keluarga pasangan sesama jenis di Singapura masih hidup dalam ketidakpastian walau parlemen sudah resmi mencabut undang-undang yang mengkriminalisasi aktivitas seks gay.
Nasib keluarga-keluarga dari pasangan LGBT ini menjadi perhatian setelah parlemen mencabut UU yang mengkriminalisasi seks gay pada Selasa (29/11).
Dalam sesi tersebut, parlemen juga mengamandemen UU yang bisa membuka jalan pengajuan tuntutan untuk mengubah definisi pernikahan dan keluarga.
Selama ini, aktivis LGBT di negara lain menggunakan UU semacam itu untuk mengubah definisi pernikahan sehingga tak sebatas "hubungan laki-laki dan perempuan."
Lihat Juga : |
Kini, aktivis LGBT di Singapura tak bisa lagi menuntut perubahan definisi itu ke pengadilan. Mereka hanya bisa menunggu parlemen sudi membuat aturan untuk mengubah definisi tersebut.
Sementara aturan itu belum ada, keluarga pasangan sesama jenis masih hidup terkatung-katung, termasuk Olivia Chiong.
Ia bercerita bahwa anak pertamanya bersama seorang perempuan warga Singapura tak bisa tinggal di negara.
Menurut Chiong, Singapura menolak izin tinggal yang diajukan ketika putrinya itu berusia 18 bulan. Chiong mengatakan pemerintah tak memberi alasan apapun saat menolak izin menetap putrinya.
Meski begitu, dia paham betul bahwa sekalipun mereka diberi alasan, tak ada yang bisa diubah karena dia sendiri terdaftar sebagai ibu lajang sebab pernikahannya tak diakui secara resmi.
Penolakan izin tinggal semacam itu membuat khawatir sejumlah pasangan LGBT yang memiliki anak. Tanpa izin tinggal maupun izin pelajar, anak itu tak bisa diterima di sekolah Singapura.
Keadaan serupa dirasakan seorang pria gay Singapura yang menolak disebutkan namanya. Dia mengaku harus meninggalkan Singapura tiap tiga bulan sekali demi memperbarui visa turis bayinya, yang lahir lewat surrogate mother.
Dia hanya berharap anaknya bisa memperoleh kewarganegaraan saat tiba waktunya sekolah. Namun untuk berjaga-jaga, dia juga membuat rencana lain, yakni meninggalkan negara asalnya itu.
Pengalaman serupa juga dirasakan pasangan Inggris yang telah tinggal selama satu dekade di Singapura.
Pasangan itu terpaksa kembali ke negara asal pada 2020, setelah kedua putra mereka yang lahir lewat surrogate mother, ditolak izin tinggal dan visa pelajarnya.
Salah seorang ayah berujar setidaknya belasan keluarga menghadapi masalah serupa.
Bagaimana kisah keluarga lainnya? Baca di halaman berikutnya >>>