Jakarta, CNN Indonesia --
Kejaksaan Agung Iran baru-baru ini dikabarkan membubarkan unit polisi moral usai dua bulan lebih diprotes buntut kematian Mahsa Amini.
Amini merupakan perempuan 22 tahun yang meninggal dunia dalam penahanan polisi moral pada September lalu. Ia diduga disiksa saat ditahan karena tak mengenakan hijab sesuai aturan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait hal ini, Jaksa Agung Mohammad Jafar Montazeri mengatakan polisi moral dibubarkan karena tidak berhubungan dengan peradilan.
"Polisi moralitas tidak ada hubungannya dengan peradilan dan telah dihapuskan," ungkapnya seperti dikutip dari AFP, Minggu (4/12).
Montazeri juga menuturkan parlemen dan kehakiman saat ini tengah mengkaji ulang aturan wajib hijab bagi perempuan di Iran yang telah memicu demo besar-besaran itu.
"Parlemen dan kehakiman sedang mengkaji [aturan itu]," katanya.
Kendati demikian, Montazeri tak menjabarkan lebih lanjut bagian mana dari hukum itu yang kemungkinan dapat diubah.
Bantahan dari Media Iran
Kabar ini pun ditanggapi berbeda oleh media pemerintah Iran, ISNA. ISNA membantah Iran telah membubarkan polisi moral.
ISNA menegaskan kepolisian moral berada di bawah kewenangan Kementerian Dalam Negeri Iran, bukan Jaksa Agung.
[Gambas:Video CNN]
CNN sudah menghubungi Kementerian Dalam Negeri Iran untuk konfirmasi lebih lanjut. Namun, belum ada tanggapan.
Adapun polisi moralitas Iran merupakan komponen dari Pasukan Penegakan Hukum Iran (LEF) yang menegakkan aturan soal ketidaksopanan dan kejahatan sosial. Mereka memiliki akses ke kekuasaan, senjata, dan pusat penahanan Iran.
Polisi moralitas biasa berpatroli di jalan-jalan untuk memeriksa penerapan hukum hijab dan persyaratan Islam lain.
Perempuan yang menolak mengenakan hijab bakal dihukum hingga dibawa ke pusat pendidikan yang bertindak semacam fasilitas penahanan.
Lanjut baca di halaman berikutnya...
Aturan Wajib Jilbab di Iran
Mengenai hal ini, bagaimana sebetulnya aturan wajib hijab di Iran?
Aturan wajib hijab di Iran telah muncul sejak Revolusi Islam 1979.
Mengutip Insider, aturan itu dibuat setelah Ayatollah Khomeini berkuasa. Khomeini memberlakukan undang-undang yang sarat diskriminasi gender, yakni memisahkan penggunaan pantai dan tempat olahraga berdasarkan jenis kelamin, melarang wanita yang sudah menikah bersekolah, serta tidak memperbolehkan wanita menjadi hakim.
Lebih dari itu, semua gadis di atas usia tertentu juga diharuskan mengenakan penutup kepala atau yang biasa dikenal sebagai hijab.
Selang beberapa dekade, polisi Teheran mulai gencar menindak keras mereka yang tidak mengenakan hijab sesuai aturan. Untuk memuluskan operasi itu, polisi moralitas pun dibentuk pada 2005.
Polisi moralitas bertugas menangkap orang-orang yang melanggar aturan berpakaian Islami.
"Siapa pun di tempat umum dan di jalan raya yang terang-terangan melakukan perbuatan haram (berdosa), selain hukuman yang diberikan untuk perbuatan tersebut, juga akan dijatuhi hukuman dua bulan penjara atau hingga 74 cambukan," demikian bunyi Hukum Pidana Islam Iran, seperti dikutip Insider.
"Wanita yang muncul di tempat umum dan jalan-jalan tanpa mengenakan hijab, akan dihukum sepuluh hari hingga dua bulan penjara atau denda lima ratus hingga lima puluh ribu rial."
[Gambas:Photo CNN]
Dengan demikian, berdasarkan aturan itu, perempuan di Iran diharuskan menutupi rambut mereka dengan kerudung, serta lengan dan kaki mereka dengan pakaian longgar.
Mengutip ABC, hukuman yang paling umum dilakukan kepada perempuan yang melanggar aturan yakni menahan mereka hingga anggota keluarganya membawakan pakaian yang pantas untuk dikenakan.
Mereka juga didesak menandatangani pernyataan yang mengatakan bahwa mereka tak akan lagi melanggar aturan.
Aturan ini pun nyatanya tak cuma menyasar perempuan. Para pria di Iran juga bisa dihukum apabila memotong rambut atau mengenakan pakaian bergaya barat.
Aturan itu termaktub dalam undang-undang yang sama dengan yang membuat Amini ditahan September lalu.
Meski telah diberlakukan sejak lama, aturan ketat wajib hijab ini terus menerus memicu protes di kalangan masyarakat. Sebagian besar perempuan Iran menentang aturan ini dengan menganggap bahwa keputusan berhijab merupakan hak individu.
Awal protes aturan ini pecah bahkan hingga menyebabkan marginalisasi sosial ekonomi selama bertahun-tahun terhadap mereka yang menolak aturan.
Banyak wanita di Iran termasuk dokter, perawat, dan guru, harus kehilangan pekerjaan akibat terlibat dalam protes tersebut.
Banyak pula perempuan yang kehilangan hak untuk melanjutkan pendidikan maupun kembali bekerja karena mengikuti "aturan berpakaian yang tidak pantas", demikian dikutip Carnegie Endowment.