Jagat maya geger ketika serial dokumenter Netflix, In the Name of God: A Holy Betrayal, membahas mengenai salah satu sekte di Korea Selatan yang menewaskan 32 orang.
Tak hanya sekte di Korsel, sejumlah kelompok sesat lainnya di dunia juga pernah menyedot perhatian karena mengorbankan banyak nyawa dalam praktiknya atau ritualnya.
Salah satu tragedi paling berdarah bahkan menelan korban hingga 900 orang dalam satu kali ritual.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut tiga tragedi terparah akibat praktik sekte-sekte di dunia.
Disebut-sebut tragedi aliran sesat terparah sepanjang sejarah, pembantaian "Jonestown" merenggut lebih dari 900 nyawa pengikut sekte Peoples Temple di Guyana pada 1978.
Jauh sebelum tragedi itu terjadi, pendeta Jim Jones sebenarnya mendirikan Peoples Temple pada medio 1960-an di Amerika Serikat, bukan di Guyana.
Dalam ajarannya, Peoples Temple menggabungkan unsur-unsur Kristen, sosialisme, komunisme, dan gaya hidup berkelompok dengan orang-orang lintas ras.
Jones mengklaim satu-satunya jalan agar pengikutnya selamat adalah dengan mengikuti ajarannya. Menurutnya, setelah dunia kiamat, akan tercipta masyarakat komunis yang ideal.
Pada 1977, Jones memindahkan markas Peoples Temple ke daerah terpencil di pedalaman Guyana. Menurut Jones, di sana Peoples Temple dapat membangun masyarakat utopis tanpa pemerintah atau campur tangan media.
Peoples Temple lantas menyulap hutan lebat di salah satu sudut Guyana menjadi lahan agrikultur, di mana mereka bermukim. Mereka menamai daerah itu Jonestown.
Namun ternyata, kehidupan di sana tak seperti "nirvana" atau negeri utopis yang dijanjikan Jones.
AFP sempat merangkum pengakuan para pengikut Jones yang tak tahan karena disuruh menggunakan narkoba, menjadi budak seks, hingga dipaksa bekerja dari fajar sampai petang selama enam hari sepekan.
Jones juga menyuruh pengikutnya untuk mengikuti ritual "Malam Putih" setiap pekan. Dalam sesi itu, para pengikut Peoples Temple dan anak-anaknya harus menenggak racun palsu sebagai latihan bunuh diri.
"Bunuh diri akan menjadi jalan keluar terakhir kalian dari serangan tak terhindarkan pemerintah AS," demikian penjelasan Jones kepada para pengikutnya, seperti dikutip The Guardian.
Kisah-kisah ini sampai ke telinga salah satu anggota Kongres AS, Leo Ryan. Ia akhirnya memutuskan untuk datang langsung ke Jonestown pada 17 November 1978.
Ketika bersiap pulang sehari kemudian, Ryan ditembak mati oleh pengikut Jones. Tak hanya Ryan, tiga jurnalis dan seorang anggota Peoples Temple yang ingin kabur juga dihabisi oleh para pengikut Jones.
Sementara itu, di Jonestown, Jones bercerita kepada para pengikutnya bahwa Ryan merupakan agen CIA dan Marinir AS yang ingin menyerang komunitas mereka.
Jones lantas mengajak para pengikutnya untuk bunuh diri. Sekitar 900 pengikutnya akhirnya bunuh diri massal, walau beberapa dari mereka sempat menolak.
Sekitar 22 tahun setelah tragedi Jonestown, dunia kembali geger karena lebih dari 530 pengikut satu sekte Movement for the Restoration of the Ten Commandments of God di Uganda tewas pada 17 Maret 2000.
Mereka dibakar hidup-hidup di dalam gereja yang terkunci di daerah Kanungu, Uganda. Selain itu, ratusan jasad lainnya juga ditemukan di bawah rumah para pemimpin sekte itu.
Associated Press melaporkan sekte tersebut didirikan oleh penolak Katolik Roma bernama Joseph Kibwetere, pendeta Dominic Kataribaabo, dan seorang pebisnis atas nama Cledonia Mwerinde.
Kelompok itu meyakini kiamat akan datang pada 31 Desember 1999. Ketiga pemimpin itu pun memerintahkan para pengikutnya untuk menjual segala harta benda mereka dan menanti akhir zaman.
Ketika kiamat tak kunjung datang setelah melewati tahun baru, para pemimpin sekte itu menentukan tanggal baru, yaitu 17 Maret 2020.