Seberapa Jauh Normalisasi Hubungan RI-Israel Bisa Bantu Palestina?
Gaduh penolakan timnas sepakbola Israel dalam Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia kembali menyulut perdebatan publik soal prospek normalisasi hubungan Jakarta dan Tel Aviv.
Dalam beberapa tahun terakhir, Israel semakin jelas mengirim isyarat soal ketertarikan mereka membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia yang selama ini terjegal isu Palestina.
Sebagian besar publik menilai membuka hubungan dengan Israel sama saja mengkhianati janji Indonesia selama ini dalam memperjuangkan hak Palestina untuk merdeka. Pandangan itu pun ikut diterapkan sebagian pihak dalam menanggapi gelaran Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia.
Menurut para pihak yang menolak, membiarkan timnas sepak bola Israel bertanding di Indonesia sama saja mendukung Tel Aviv dan mengkhianati Palestina.
Namun, sejumlah tokoh terutama mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) justru menilai Piala Dunia U-20 bisa jadi momentum bagi RI menunjukkan peran aktifnya memperjuangkan hak bangsa Palestina, yakni lewat dialog damai.
Menurut JK, melalui hubungan olahraga ini, Indonesia perlahan bisa menjajaki ke tahap hubungan lainnya, termasuk hubungan diplomatik dengan Israel, demi membantu Palestina "mencapai perdamaian".
Apakah benar Indonesia membuka hubungan resmi dengan Israel justru bisa lebih banyak membantu memperjuangkan Palestina?
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Sya'roni Rofii mengatakan pada dasarnya jika ingin mendamaikan dua negara yang berkonflik memang perlu mediator untuk menjembatani guna mencari solusi.
Sementara itu, salah satu kriteria penting menjadi mediator adalah memiliki hubungan baik dengan kedua belah pihak yang berkonflik, dalam hal ini Israel dan Palestina.
Lihat Juga :KILAS INTERNASIONAL Israel Tanggapi Gaduh Timnas U-20 di RI hingga Korban Eksekusi Korut |
Sama seperti JK, Sya'roni mendukung jika RI menormalisasi hubungan dengan Israel. Dengan syarat, Tel Aviv bersedia menjamin kemerdekaan Palestina dan menyetujui konsep two state solution atau solusi dua negara yang selama ini menjadi resolusi konflik yang disepakati komunitas internasional.
"Jika Israel bersedia memberikan kemerdekaan kepada Palestina dan menyetujui konsep dua negara yang saling bertetangga Israel-Palestina. Jika tidak maka (Indonesia) hanya akan menguras energi dalam negeri (soal prospek normalisasi hubungan dengan Israel)," ucap Sya'roni kepada CNNIndonesia.com pada Senin (3/4).
Menurut Sya'roni, Indonesia hingga kini masih memilih berpegang pada prinsip dekolonisasi sehingga menghindari normalisasi hubungan dengan Israel sampai hak Palestina untuk merdeka terealisasi. Selain itu, ia juga mencatat soal implikasi politik domestik yang "sangat serius" jika Indonesia-Israel membuka hubungan diplomatik.
"Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah menjajaki kemungkinan (normalisasi) tersebut namun karena banyak penolakan publik maka kebijakannya tetap menolak hubungan diplomatik dengan Israel," kata Sya'roni.
Sya'roni menilai pemerintah sudah pasti memperhitungkan pengaruh domestik terkait prospek normalisasi hubungan dengan Israel yang merupakan isu sangat sensitif bagi warga Indonesia yang mayoritas mendukung Palestina. Suara publik, katanya, menjadi pertimbangan penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia baik di masa lalu maupun kini.
"Pembukaan hubungan dengan Israel sangat bergantung pada seberapa besar dampak yang akan ditimbulkan bagi Indonesia dan kemerdekaan Palestina," ujarnya lagi.
Bisa jadi solusi bagi Palestina
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Yon Machmudi juga mengatakan jalur diplomasi memang bisa menjadi solusi atas konflik Israel vs Palestina. Yon berujar Indonesia bisa saja menjalin diplomasi dengan Israel jika "memang menjadi prioritas utama kebijakan luar negeri" RI.
"Dan tentu harus dibuktikan dengan keseriusan, salah satunya bisa dilihat, apakah ada badan atau agen khusus yang dibentuk oleh pemerintah baik melalui Kementerian Luar Negeri atau di dalam pengawasan presiden yang memang ditugaskan untuk melakukan lobi-lobi berkaitan dengan penyelesaian konflik Israel-Palestina," kata Yon kepada CNNIndonesia.com.
Kendati demikian, menurut Yon, hingga kini Indonesia belum menjadikan isu Palestina sebagai prioritas utama. Sebab, masalah tersebut hanya naik ke permukaan kala diterpa "masalah".
"Isu-isu Palestina itu kan bersifat reaktif, jadi kalau ada masalah baru ada statement. Ketika ada delegasi Israel baru kemudian muncul statement dan polemik. Belum jadi suatu kebijakan yang terukur dan terstruktur di dalam hal penyelesaian," lanjut Yon.
Yon juga mengatakan untuk menjalin normalisasi harus ada kepentingan yang bisa dibawa guna memperkuat diplomasi. Dia mencontohkan, Uni Emirat Arab, yang baru-baru ini normalisasi dengan Israel, membuka hubungan diplomatik demi kepentingan ekonomi dan geopolitiknya.
"Tetapi Indonesia, apakah ada kemungkinan kepentingan ekonomi jangka panjang yang besar? Yang memiliki benefit bagi Indonesia. Atau itu hanya menguntungkan pihak Israel? Maka itu juga harus ditimbang," ucapnya.
"Karena biar bagaimanapun pengakuan Indonesia terhadap Israel baik lewat diplomasi atau normalisasi itu memang sangat diinginkan oleh pihak Israel. Karena Indonesia kan sebagai [salah satu] negara Muslim terbesar."
Senada dengan Sya'roni, Yon juga menilai sah-sah saja jika RI menjalin normalisasi dengan Israel. Namun dengan syarat, Israel memberikan jaminan yakni mengakui kemerdekaan Palestina yang berdaulat sebagaimana konstitusi di Indonesia.
"Selama itu belum ada tentu tidak ada sesuatu yang bisa menjadi jaminan. Indonesia jangan sampai kemudian masuk ke dalam sebuah perangkap yang membuat Indonesia sudah terlanjur melakukan pengakuan tapi setelah itu tidak ada daya tekan, kan itu tidak efektif," ujar Yon.
Eks wakil menlu RI buka suara soal prospek normalisasi Israel-RI, baca di halaman selanjutnya >>>