Pertama, pada tahun 1517, Kekaisaran Ottoman merebut Yerusalem dan menguasai kota itu selama 400 tahun, sebelum direbut Inggris dalam Perang Dunia I.
Berbagai upaya dilakukan Kekaisaran Ottoman untuk mencegah bentrokan di situs, baik itu antara Yahudi dan Muslim, juga berbagai kelompok Kristen yang mengklaim tempat-tempat suci di Yerusalem.
Akhirnya pada tahun 1757, Sultan Oman III mengeluarkan dekrit yang menetapkan apa yang kini dikenal sebagai Status Quo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Status quo ini lah yang menegaskan bahwa non-Muslim hanya boleh berkunjung dan dilarang beribadah di Al Aqsa. Sementara hak bagi orang Yahudi adalah menggunakan Tembok Barat untuk berdoa.
Alasan kedua, adalah karena orang Yahudi dianggap 'tidak suci' untuk masuk ke area Al Aqsa.
Kepala Rabi Israel, yang diakui hukum sebagai otoritas rabi tertinggi Yudaisme, menyatakan bahwa Temple of Mount adalah tempat Maha Kudus atau tempat hadirat Tuhan turun. Sehingga menginjakkan kaki di situs suci itu sama saja melakukan penistaan.
Dekrit ini sudah dikeluarkan oleh Kepala Rabbi Yerusalem sejak tahun 1921.
Para rabi kepala mengikuti pandangan dari Maimonides bahwa Shechinah (kehadiran ilahi) masih ada di lokasi sisa Bait Allah.
Orang yang masuk ke area Temple Mount tanpa ritual penyucian, dapat dihukum dengan kareth (kematian karena ketetapan surgawi).
Meski pelarangan ibadah umat Yahudi didasarkan pada status quo dan kekhawatiran akan penodaan situs suci, namun beberapa waktu terakhir muncul berbagai upaya agar umat Yahudi bisa beribadah di Al Aqsa.
Banyak orang Yahudi religius melihat upaya penaklukan Temple Mount sebagai simbol besar, yaitu tanda akhir zaman seperti dinubuatkan dalam kitab suci.
Bagi beberapa kelompok agama Yahudi, desakan mereka bukan sekadar ingin beribadah di dalam Temple Mount. Namun ada keharusan untuk membangun kembali Kuil Ketiga di situs tersebut, sebagai tanda turunnya Mesias dan Hari Penghakiman.
(dna/bac)