Laporan PBB: Narkoba Kian Ngeri di Asia usai Pelonggaran Era Pandemi
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melaporkan peredaran narkoba sintetis di Asia telah mencapai level ekstrem.
Dalam riset yang dirilis oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Jumat (2/6), para kartel disebut telah membuka rute baru untuk peredaran sabu di kawasan Asia sejak longgarnya pembatasan Covid-19.
Laporan tersebut juga mengemukakan penyitaan barang bukti sabu di Asia Timur dan Tenggara melonjak ke rekor tertinggi selama pandemi.
"Ketika penutupan perbatasan [karena] pandemi dan pembatasan perjalanan mulai dicabut, organisasi kriminal internasional mulai terhubung kembali," kata Jeremy Douglas, Perwakilan Regional UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik, dilansir via CNN.
"Pola yang terjadi pada akhir 2022 dan awal 2023 hampir sama dengan 2019," sambung Douglas.
Menurut penelitian UNODC, jaringan kartel narkoba di Asia menghasilkan miliaran dolar melalui jaringan peredaran narkotika global.
Selama bertahun-tahun, sebagian besar produksi sabu di kawasan Asia dilakukan di pedalaman hutan yang dikenal sebagai Segitiga Emas.
Lihat Juga : |
Kawasan terpencil yang terdapat di perbatasan Thailand, Laos, dan Myanmar itu telah lama menjadi salah satu pusat narkotika di seluruh dunia.
"Dari Myanmar, sabu-sabu dan obat-obatan sintetis lainnya beredar ke seluruh dunia, dengan rekor pengiriman paling jauh hingga ke Jepang, Selandia Baru, dan Australia," tulis laporan UNODC.
"Kawasan Asia Selatan juga telah memasuki pasar peredaran, lewat sabu yang diangkut dengan jumlah besar dari Myanmar ke Bangladesh dan timur laut India."
Selain sabu, produksi dan perdagangan ketamin juga meningkat pesat di wilayah Asia, lewat sitaan 27,4 ton barang bukti di seluruh kawasan.
Angka itu 167 persen lebih tinggi dari tahun sebelumnya, menurut laporan UNODC. Hampir setiap negara dan teritori di Asia juga melaporkan peningkatan penyitaan, kecuali Jepang dan Hong Kong.
"Situasi ketamine di kawasan ini, dalam banyak hal mencerminkan pendekatan berbasis pasokan yang digunakan untuk memperluas pasar metamfetamin pada pertengahan 2010-an," kata Inshik Sim, koordinator regional UNODC untuk obat-obatan sintetik.
"Karena itu, informasi tentang penggunaan ketamine amat terbatas, dan tidak jelas seberapa luas penyebarannya - penelitian lebih lanjut sangat diperlukan."
Temuan lain dalam riset itu juga mengungkap jika Kamboja mulai muncul sebagai lokasi utama untuk produksi ketamine.
Hal itu terungkap melalui laporan pihak berwenang usai penyisiran laboratorium dan gudang ilegal di sejumlah wilayah Kamboja.
Pihak berwenang Kamboja dilaporkan menyita barang bukti 518 ton bahan kimia pada 2022 lalu, berbanding drastis dengan sitaan 5 ton pada 2020 atau awal pandemi.
Dalam temuan terkait, bahan kimia dan peralatan yang ditemukan di laboratorium berasal dari setidaknya 12 negara dan provinsi yang berbeda.
Bahan-bahan kimia yang ditemukan dilaporkan berasal dari Prancis, Polandia, Vietnam, India, Indonesia, hingga Korea Selatan.
(far/arh)