Jakarta, CNN Indonesia --
Salah satu negara di Afrika, Niger, menjadi sorotan usai mengalami kudeta militer pada pekan lalu.
Negara-negara di Afrika kerap didera kudeta. Sejak 2010, telah terjadi lebih dari 40 kudeta dan percobaan kudeta di Benua Hitam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari jumlah tersebut, sekitar 20 terjadi di Afrika Barat dan Sahel. Selain itu lebih dari 90 persen negara Afrika memiliki pengalaman kudeta, demikian dikutip The Conversation.
Terlepas dari itu, kenapa tak sedikit negara di Afrika langganan kudeta?
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Sya'roni Rofii, mengatakan Afrika merupakan kawasan yang paling rentan.
"Stabilitas di kawasan ini sulit terjadi karena tidak didukung oleh aktor yang memiliki komitmen pada kesatuan nasional," ujar Sya'roni kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/8).
[Gambas:Video CNN]
Persoalan korupsi di tingkat pemerintah, kemiskinan yang merajalela, juga menjadi faktor pendukung kudeta.
"Itu menjadi alasan mengapa Afrika kerap masuk dalam kategori negara gagal 'failed states'," kata Sya'roni lagi.
Pengamat hubungan internasional lain dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, juga punya penilaian serupa.
"Dalam sejarahnya, negara-negara Afrika memang menjadi langganan kudeta. Ini karena proses demokratisasi tidak berjalan dan hanya bersifat artifisial," ujar Yon.
Menurut Yon, para pemimpin di negara-negara Afrika sebagian besar dipilih berdasarkan afiliasi etnis dan keturunan dengan penguasa sebelumnya. Demokrasi di kawasan itu pun tak berkembang.
Pengamat itu lantas memberi contoh kudeta yang berlangsung di sejumlah negara di Afrika. Beberapa negara itu di antaranya kudeta Libya era Muammar Khadafi, rezim Tunisia yang terpilih secara demokratis tumbang di tengah jalan, hingga Sudan yang menjadi Sudan Utara dan Sudan Selatan.
Menurut The Conversation, pada 2012, telah terjadi lebih dari 200 kudeta dan upaya kudeta di Afrika. Pada 1960 hingga 1970-an upaya kudeta bahkan setiap 55 hari.
Lanjut baca di halaman berikutnya...
Selain itu, faktor eksternal yang mempengaruhi kudeta kerap terjadi di Afrika karena faktor campur tangan asing, demikian menurut Sya'roni. Banyak negara di Benua Hitam ini merupakan bekas jajahan Inggris dan Prancis.
Kedua negara Eropa itu disebut cukup mempengaruhi negara di Afrika.
Menurut profesor dari ilmu politik di Universitas Kyambogo Uganda, Sultan Kakuba, mengatakan beberapa negara Barat mendukung pemimpin yang melayani mereka.
"Tetapi, begitu seorang pemimpin berhenti memenuhi tuntutan mereka [negara asing], mereka akan merencanakan pemecatan," kata Kakuba pada 2022 lalu, seperti dikutip Anadolu Agency.
Peneliti senior di Media Review Network, Mustafha Mheta, mengklaim bahwa Prancis mungkin punya andil dalam beberapa kudeta di bekas koloninya.
"Prancis terlalu terlibat dalam urusan banyak negara Afrika Barat ini, dan masih ingin memanipulasi negara-negara ini dan terus memeras mereka," kata Mheta menduga.
Sejumlah negara bekas jajahan Prancis di antaraya Maroko, Aljazair, Mauritania, Mali, Senegal, Guinea, Pantai Gading, Burkina Faso, Benin, Niger, Chad, Republik Afrika Tengah, Gabon, Kongo dan Madagaskar.
Burkina Faso mengalami kudeta pada September 2022 lalu yang dipimpin Ibrahim Traore. Ia dan perwira militer lain mencopot Paul Henri Damiba karena dianggap tak becus atasi pemberontakan bersenjata yang memburuk.
Damiba duduk di pucuk pimpinan usai mengambil alih secara paksa dari presiden sebelumnya Roch Kabore pada Januari 2022.
Menurut Mheta, kudeta-kudeta di Afrika merupakan bagian dari rencana besar kekuatan Barat yang takut dengan pengaruh China.
Ia menyinggung beberapa kudeta berlangsung di tengah periode ketegangan yang meningkat di dunia, terutama antara China dan AS.
Kondisi ekonomi buruk
Kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik dan ketergantungan dengan pihak asing yang sangat tinggi, lanjut dia, turut berkontribusi terhadap kudeta yang kerap terjadi.
Negara-negara di Afrika memang memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Namun, menurut pengamat UI, Yon, potensi konflik yang tinggi dan intervensi asing di Afrika membuat mereka tak mampu membangun sumber daya manusia.
"Akses politik dan ekonomi sebagian besar dikuasai oleh rezim dan oligarki sehingga banyak menimbulkan ketidakpuasan rakyat dan mendorong terjadinya coup d'etat,"ujar Yon.