Jakarta, CNN Indonesia --
Sejak Hamas menyerang sejumlah kota Israel pada 7 Oktober lalu, sejumlah negara terutama Barat ramai-ramai mengutuk aksi milisi Palestina itu karena dinilai melancarkan serangan terorisme.
Respons negara-negara Barat ini berbeda dengan Rusia dan China yang memilih tidak mengecam Hamas.
Saat rapat darurat Dewan Keamanan PBB, kedua negara hanya mengecam penyerangan terhadap warga sipil tanpa repot-repot menyebut dan mengutuk Hamas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Moskow dan Beijing bahkan tidak pernah sekalipun menyebut milisi itu sebagai teroris, baik untuk serangannya saat ini maupun untuk serangannya di masa lalu.
Kenapa Rusia dan China enggan menyebut Hamas teroris?
Selama berpuluh-puluh tahun, Rusia dan China memilih berdiri bersama Palestina agar wilayah itu mendapatkan kemerdekaan yang sah.
[Gambas:Video CNN]
Keputusan Rusia dan China mendukung Palestina bukan tanpa alasan. Kedua negara itu berupaya memperkuat posisi mereka demi mendapatkan sekutu di dunia Arab dan negara-negara potensial lain secara lebih luas.
Dikutip dari The Guardian, Rusia mencoba mencari dukungan untuk melanjutkan perang di Ukraina, sementara China berusaha membangun koalisi negara-negara berkembang yang lebih luas untuk memperluas pengaruh Beijing dan memperkuat upayanya bersaing dengan AS di panggung global.
"Beijing sudah pro-Palestina sejak masa Mao dan sadar akan hubungan dekat AS dengan Israel. [Sekarang] hampir semua hal yang didukung AS, harus ditentang oleh China," kata Yu Jie, peneliti senior Tiongkok di lembaga pemikir Chatham House di London.
Yu mengatakan Beijing ingin dilihat sebagai pendukung utama negara-negara selatan, yang mencakup sebagian besar negara-negara Arab, yang mempertahankan hubungan persahabatan dengan Tiongkok.
Menurutnya, persahabatan dengan negara-negara Timur Tengah ini baru bisa dicapai "dengan terus mendukung Palestina."
Salah satu langkah China mempererat hubungan dengan Arab terlihat cukup jelas pada Juni 2006. Saat itu, Beijing mengundang Menteri Luar Negeri Hamas Mahmoud al-Zahar menghadiri Forum Kerjasama China-Arab, sebuah keputusan yang sangat diprotes AS dan Israel namun dipuji oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Sejak Hamas memenangkan pemilu legislatif Palestina pada 2006, China telah memandang Hamas sebagai perwakilan terpilih rakyat Palestina. Beijing tidak pernah sekalipun menyebut kelompok berkuasa di Jalur Gaza itu sebagai organisasi teroris seperti negara-negara Barat.
Berbagai perang yang dihadapi Hamas dengan Israel pada tahun-tahun setelahnya pun tak membuat China mengubah posisinya. Beijing hanya mengecam bentuk kekerasan dan mendesak penyelesaian konflik melalui dialog.
Menurut sejumlah analis, dukungan penuh China terhadap Palestina, termasuk pula Hamas, yaitu demi meredam kekhawatiran dunia Islam dan Arab mengenai perlakuan Beijing terhadap etnis Muslim Uighur di wilayah Xinjiang, Tiongkok barat laut.
Sejak dulu, China punya persoalan panjang dengan etnis minoritas Muslim di negaranya tersebut. Sejumlah laporan menyebutkan otoritas Beijing melakukan degradasi terhadap kebudayaan Uighur nilai-nilai Islam mereka.
Negeri Tirai Bambu bahkan memasukkan kaum Uighur ke kamp-kamp khusus untuk di"reedukasi", mulai dari dipaksa berbahasa China hingga menerima ajaran komunisme dan sinifikasi.
Lebih lanjut, keputusan China mendukung Palestina yaitu untuk mempertahankan kerja sama dengan Timur Tengah. Timteng memasok sebagian besar kebutuhan minyak China, dan bahkan merupakan bagian dari inisiatif Belt and Road Beijing.
Belt and Road adalah proyek infrastruktur ambisius Presiden Xi Jinping untuk menghubungkan pasar di seluruh dunia dan memperluas pengaruh China.
Sementara itu, bagi Rusia, Hamas juga bukanlah organisasi teroris. Sama seperti China, Kremlin memandang Hamas sebagai bagian dari Palestina yang meraih suara rakyat wilayah itu.
Sikap Rusia terhadap Hamas ini semata-mata karena ingin menjalin hubungan baik dengan Palestina demi mengambil hati Dunia Selatan.
Menurut profesor di Universitas George Mason, Mark Katz, Kremlin "berusaha menyelaraskan diri dengan arus utama Arab" agar menguatkan posisinya di kawasan itu.
Bagi Hamidreza Azizi, pakar hubungan Iran-Rusia di Institut Urusan Internasional dan Keamanan Jerman, Rusia yang tak keras dengan Hamas juga mencerminkan kecenderungan Kremlin menuju hubungan yang lebih dekat dengan Iran dan sekutunya di kawasan.
"Saya pikir Rusia telah membuat pilihan strategis mengenai kepada siapa mereka harus berpihak di Timur Tengah, dan ini jelas bukan Israel," kata Azizi, seperti dikutip Time.