Sementara itu, analis kebijakan luar negeri yang fokus pada kajian Timur Tengah dan Afrika Utara, Alexander Langlois, menilai kegagalan PBB menghentikan agresi Israel di Gaza mencerminkan betapa "persaingan kekuatan besar dan kepentingan geopolitik" sangat mempengaruhi prinsip-prinsip badan tersebut.
Langlois mengatakan PBB memiliki sistem yang dikenal sebagai tatanan internasional liberal atau tatanan internasional berbasis aturan, yang dikembangkan setelah Perang Dunia II.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sistem ini, dengan PBB sebagai intinya, dirancang "untuk mencegah konflik antar negara dan menjaga stabilitas melalui kedaulatan."
Namun, kata dia, mereka yang merancang sistem ini memberikan diri mereka sendiri "kartu truf utama" yakni hak veto yang berlaku kepada lima anggota tetap DK PBB.
"Keputusan ini memperkuat peran politik negara-negara besar dalam sistem PBB, memberikan ruang bagi negara-negara paling kuat di dunia untuk mendikte politik internasional demi kepentingan mereka. Dengan demikian, setiap anggota tetap telah menghasilkan veto yang membawa dampak buruk," ucapnya.
Dia mencontohkan, upaya Rusia memblokir masalah hak asasi manusia dan diplomasi di negara-negara seperti Ukraina dan Suriah "merupakan penggunaan hak veto yang paling mengerikan di DK PBB."
"Washington kini melakukan hal yang sama di Gaza, memilih untuk mengadopsi pendekatan Rusia [di masa lalu]," kata Langlois seperti dikutip New Arab.
AS dinilai mengikuti jejak Rusia yang telah melakukan serangan tanpa pandang bulu terhadap "teroris" dan "Nazi", dan menargetkan infrastruktur sipil di Ukraina dan Suriah.
"Persamaan ini menunjukkan kepentingan geopolitik yang menggantikan tatanan internasional yang berbasis aturan. Rusia dan Amerika Serikat menerapkan hukum internasional dan upaya resolusi konflik demi kepentingan nasional mereka, bukan untuk mendukung altruisme atau sistem internasional," tuturnya, seperti dikutip dari The New Arab.
(rds)