Situasi politik di dalam negeri masing-masing juga menjadi hambatan.
Di pemerintahan Benjamin Netanyahu, kelompok sayap kanan mendominasi Israel. Mereka, kata Dino, tak tertarik dengan solusi dua negara.
Lalu di Palestina, muncul kelompok yang lebih ingin menghancurkan Israel ketimbang menerima solusi dua negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, di internal Palestina juga tak satu suara. Hamas dan Fatah berselisih sejak pemilihan umum 2006 hingga sekarang.
Keduanya memang ingin memerdekakan Palestina tetapi menempuh jalan masing-masing. Hamas menggunakan cara militer untuk mencapai tujuan, sementara Fatah mengandalkan upaya diplomasi dan negosiasi.
Lihat Juga :![]() KILAS INTERNASIONAL Warga Gaza Kibarkan Bendera Putih sampai Ahli Senjata Hamas Dibunuh |
"Yang satu moderat, yang satunya lagi keras. Sampai sekarang perseteruan internal ini tidak pernah diakhiri," ujar Dino, dalam video yang diunggah di Instagram.
Ia kemudian berkata, "Tanpa persatuan dan kerja sama soal antara faksi Palestina kemerdekaan Palestina mustahil tercapai."
Solusi dua negara memang disepakati masyarakat internasional, tetapi banyak negara yang tak berperan aktif lebih jauh membawa isu Palestina.
Dino menilai Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutters bahkan tak memainkan peran lebih banyak. AS dan Uni Eropa juga tak tertarik mendorong perundingan solusi dua negara.
AS, di perang kali ini, bahkan menolak gencatan senjata karena takut Hamas bisa kembali menyerang Israel.
Di sisi lain, pihak yang dianggap akan mendukung penuh Palestina, negara-negara Arab, tak kompak mengenai konflik Israel dan Palestina ini.
Beberapa negara Arab di Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab hingga Bahrain bahkan membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Sejumlah pihak menilai normalisasi itu membuat Palestina merasa terkhianati.
(isa/bac)