Jakarta, CNN Indonesia --
Pasukan Israel dan milisi di Palestina, Hamas, berperang sejak 7 Oktober. Gaza bak hancur lebur dan ribuan warga meninggal oleh bombardir pasukan Zionis.
Ribuan angka ini tak cukup mampu meluluhkan Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi perang Israel-Hamas. Amerika Serikat yang dianggap bisa mendesak Israel untuk stop perang justru mendukung penuh aksi sekutunya dan menolak gencatan senjata.
Negara-negara Arab juga tak banyak berbuat. Mereka hanya mengeluarkan sebatas kecaman. Beberapa di antara negara itu bahkan menjalin normalisasi dengan Israel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di luar kebuntuan tersebut, China menyatakan siap jadi juru damai untuk konflik Israel dan Palestina. Lalu, apakah mereka mampu melakukannya?
Peneliti hubungan internasional dari Universitas Muhammadiyah Riau Fahmi Salsabila mengatakan China bisa saja menjadi juru damai.
"Bisa. Dengan kekuatan ekonomi dan militernya, bisa [menjadi juru damai] walaupun China lebih suka pendekatan lain ketimbang konfrontasi militer," kata Fahmi kepada CNNIndonesia.com, Kamis (9/11).
Fahmi mengungkapkan kekuatan militer China saat ini menjadi modal besar sebagai deteren faktor atau penggetar.
Lebih lanjut, Fahmi menerangkan dunia harus memberi kesempatan ke China untuk memainkan peran dan menunjukkan mereka berbeda dengan AS.
"Jika kesempatan ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dunia akan melihat kepemimpinan China dalam masalah-masalah dunia ke depannya," ujar dia.
Senada, pengamat hubungan internasional lain dari Universitas Indonesia Yon Machmudi mengatakan China menjadi alternatif saat banyak pihak tak bisa menyelesaikan konflik.
Ia menyebut soft power dan diplomasi China menjadi sebuah cara yang perlu dicoba.
"Saya kira itu bisa dilakukan China untuk mendapat win-win solution termasuk dengan memanfaatkan Qatar untuk berkomunikasi dengan Hamas, sementara China bisa berkomunikasi dengan Israel," ucap dia.
Dalam konflik Israel-Palestina, China cenderung mendukung Palestina. Namun, mereka juga memiliki hubungan diplomatik dengan Israel sejak 1992. Untuk bisa menjadi mediator, mereka harus memiliki hubungan dengan kedua pihak.
Lebih lanjut, Yon mengatakan China menjadi harapan baru yang bisa mendorong perdamaian di kawasan Timur Tengah mengingat rekam jejak mereka.
Pada April lalu, China berhasil membuat Iran dan Arab Saudi akur usai putus hubungan selama tujuh tahun.
China dan Qatar juga berhasil menyelesaikan konflik kekerasan di Afghanistan dengan penarikan pasukan AS dari wilayah itu pada 2021 lalu.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Ragu China bisa jadi mediator
Sementara itu, profesor hubungan China dan negara di Timur Tengah dari Universitas Groningen Willem Figueroa tak yakin China akan terlibat jauh dalam penyelesaian konflik Israel dan Palestina.
"Skenario terbaik China adalah mengakhiri konflik sesegera mungkin dan melibatkan China dalam proses negosiasi potensial dengan cara tertentu," kata Figueroa, dikutip Al Jazeera, pada awal pekan ini.
Ia kemudian berujar, "Tapi, sejujurnya saya tidak yakin mereka bisa terlibat sama sekali."
Pandangan tersebut muncul karena Negeri Tirai Bambu mengambil sikap dengan hati-hati soal Israel dan Palestina.
"Mereka mengambil sikap yang sangat hati-hati di awal dan menyebarkan perdamaian dan mengutuk kekerasan terhadap warga sipil dan fokus terhadap keluhan Palestina," kata Figueroa.
[Gambas:Photo CNN]
Di awal perang, China hanya menyerukan deeskalasi permusuhan, meminta pihak-pihak terkait tetap tenang, dan menahan diri. Mereka juga menyerukan permusuhan segera berakhir demi melindungi warga sipil dan situasi yang memburuk.
Sepekan setelah perang, China mengutus wakil Menlu yang membidangi Afrika dan utusan Timur Tengah, Zai Jun, untuk berkunjung ke Timur Tengah.
Di waktu yang bersamaan, China menyatakan siap berperan lebih aktif terkait konflik tersebut.
Sebulan usai perang, China dan Uni Emirat Arab menyerukan gencatan senjata mengingat korban sipil tewas yang terus bertambah dan Gaza kian krisis.
Namun, peran China membuat Iran dan Arab Saudi kembali membuka hubungan diplomatik dianggap belum bisa membuat mereka akan berhasil di konflik Israel-Palestina.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas St Thomas di AS, Yao Yuan Yeh, menilai meski ada peningkatan keterlibatan China di Timur Tengah bukan berarti menjadi pemeran utama di perang Israel dan Hamas.
"Kami belum benar-benar melihat China melakukan sesuatu yang baru atau mengambil posisi kepemimpinan dalam konflik saat ini," ujar Yeh.
Beberapa pengamat memandang kunjungan perwakilan China tak cukup dinilai sebagai upaya besar mengingat dukungan pemimpin Barat ke Israel.
China padahal memprioritaskan hubungan dengan Palestina dalam konflik ini.
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Joe Biden hingga Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak mengunjungi Tel Aviv untuk menyampaikan dukungan ke PM Benjamin Netanyahu.
AS tolak China jadi juru damai?
AS merupakan sekutu dekat Israel. Mereka bahkan menolak gencatan senjata lantaran takut Hamas bisa kembali menyerang Israel.
China dan AS juga saling bersaing dalam banyak hal termasuk mendapat pengaruh di Timur Tengah.
Fahmi menilai salah satu tantangan upaya damai China adalah "Israel first" yang menjadi prioritas AS dan sekutu Barat.
Mereka akan mengutamakan kepentingan dan keuntungan Israel dibanding pihak lain.
Di luar itu, AS jadi salah satu negara yang mendukung solusi dua negara.
Solusi dua negara menyerukan pembentukan dua negara yang hidup berdampingan, aman, damai, dan saling mengakui kemerdekaan masing-masing.
Berbeda dengan Fahmi, Yon menilai AS itu "tidak terlalu keberatan" dengan upaya China selama usaha tersebut mengarah ke solusi dua negara.
"Akan sangat didukung apabila upaya non-militer mampu untuk membebaskan tawanan dari Israel yang berada di Gaza," kata dia.