Jakarta, CNN Indonesia --
Kabinet pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyetujui perjanjian gencatan senjata dengan milisi Hamas Palestina mengenai konflik di Jalur Gaza pada Rabu (22/11).
Sebanyak 35 dari 38 menteri Israel setuju bahwa penghentian sementara agresi bisa dilakukan sebagai imbalan atas pembebasan sejumlah sandera.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami telah memutuskan keputusan yang sulit malam ini, tapi ini adalah keputusan yang benar," ucap Netanyahu pada Rabu (22/11) dini hari usai merampungkan rapat kabinet darurat.
Berdasarkan perjanjian gencatan senjata, Hamas harus membebaskan setidaknya 50 warga Israel yang disandera di Jalur Gaza. Sementara itu, Israel juga harus membebaskan 150 warga Palestina yang ditahan di penjara-penjara Negeri Zionis.
Para sandera terutama ialah anak-anak dan perempuan.
Gencatan senjata ini sendiri disepakati berlangsung selama empat hari usai ditetapkan. Dalam kurun waktu itu, Israel berjanji "tidak menyerang atau menangkap siapa pun di seluruh wilayah Jalur Gaza."
Seiring dengan ini, sejauh mana gencatan senjata berefek untuk mengakhiri agresi di Gaza?
Pengamat studi Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Sya'roni Rofii, mengatakan adanya gencatan senjata yang disepakati menandakan bahwa kedua belah pihak yang bertikai mesti sama-sama menyetop serangan.
Sya'roni menuturkan biasanya dalam gencatan senjata para pihak yang bertikai memberikan akses kepada tenaga medis untuk memberikan pertolongan kepada prajurit yang terluka.
Selain kepada prajurit, gencatan senjata juga diterapkan untuk memberikan koridor bagi bantuan kemanusiaan sekaligus agar warga sipil yang berada di kawasan perang bisa dievakuasi maupun mendapat perawatan apabila terdampak.
"Menurut saya, walaupun gencatan senjata ini terus menerus ditunda tetapi melihat jumlah korban sipil yang terus meningkat lebih baik dilakukan daripada tidak sama sekali," ucap Sya'roni kepada CNN Indonesia.
Menurut Sya'roni, adanya perjanjian gencatan senjata ini juga bisa memberikan akses bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk lebih aktif melakukan investigasi terkait dugaan pelanggaran hukum internasional yang dilakukan pihak-pihak yang berseteru.
"Namun demikian, tentu saja ini bukan menjadi jaminan perang akan dihentikan. Kecuali gencatan senjata ini dikawal oleh pasukan penjaga perdamaian PBB seperti di Lebanon," kata Sya'roni.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, juga berpandangan bahwa perjanjian gencatan senjata ini masih bersifat sementara karena hanya berlaku empat hari.
Dia menilai Israel-Hamas belum akan gencatan senjata permanen karena harus melalui proses panjang, terutama jika ingin membebaskan para tahanan militer.
"[Untuk membebaskan] tahanan Hamas yang berasal dari tentara militer, pasti itu akan jauh lebih besar harganya, tuntutannya dibandingkan dengan tawanan dari kelompok sipil perempuan dan anak-anak. Ini pasti akan lama lagi prosesnya," ucap Yon kepada CNN Indonesia.
Selain itu, Yon juga berujar perjanjian gencatan senjata ini tidak bisa "secara umum" memberikan kesempatan bagi koridor kemanusiaan dari luar untuk memasuki Gaza. Sebab "perlu waktu dan komitmen Israel" untuk bisa mencegah jatuhnya korban sipil di daerah kantong tersebut.
"[Apalagi] untuk menghentikan perang nampaknya belum ada titik terang," tutur dia.
Menurut Yon, apabila Israel setuju gencatan senjata melalui skema "ceasefire" bukan cuma jeda kemanusiaan, maka konsekuensinya Negeri Zionis harus menarik mundur pasukan dari seluruh wilayah Gaza.
Bahkan, penarikan pasukan ini bukan cuma terjadi di Gaza, tetapi juga di Tepi Barat, bersamaan dengan penarikan pemukiman di daerah yang mereka duduki itu.
"Konsekuensinya, kalau pasukan Israel juga harus ditarik mundur dari seluruh wilayah Gaza, kemudian juga pemukiman yang ada di Tepi Barat itu juga dihentikan, dan Otoritas Palestina diberikan wewenang penuh untuk memerintah Tepi Barat dan Gaza," katanya.
Jika hal ini terjadi, cita-cita seluruh dunia akan two state solution alias solusi dua negara bisa terwujud bagi Israel dan Palestina.
Ketika pembicaraan soal ini dimulai, dunia internasional tentu punya andil untuk mengawasi sampai benar-benar terealisasi.
"Itu akan melibatkan dunia internasional untuk mengawasi sampai realisasi kemerdekaan Palestina itu terjadi, kalau memang ini yang disetujui oleh Israel dengan mengikuti gencatan senjata," ujar Yon.
Sementara itu, menurut pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Broto Wardoyo, "langkah break" dari perang lewat gencatan senjata sementara kali ini memiliki signifikansi di tengah panasnya konflik belakangan.
Namun demikian, Broto menilai perjanjian ini tetap harus didukung dengan kesepakatan yang lebih jangka panjang agar penerapannya efektif.
Broto juga tak menampik bahwa konflik Israel-Palestina bisa berpotensi segera berakhir jika ada kelanjutan pembicaraan di antara kedua belah pihak setelah ini.
"Ada [potensi perang berakhir] jika ada kelanjutan pembicaraan," ucap Broto kepada CNNIndonesia.com.
Hamas sejauh ini telah menyambut baik perjanjian gencatan senjata dengan menyebut bahwa hal itu "dirumuskan sesuai dengan visi perlawanan" dan faktor-faktor penentunya yang bertujuan melayani rakyat Palestina.
Perjanjian untuk gencatan senjata selama empat hari ini pun telah dikonfirmasi oleh Qatar. Kementerian Luar Negeri Qatar menyatakan waktu dimulainya gencatan senjata bakal diumumkan dalam 24 jam.
Seperti dikutip Al Jazeera, periode 24 jam ini bisa digunakan oleh setiap warga Israel yang menentang kesepakatan gencatan senjata untuk mengajukan banding terhadap keputusan tersebut ke Pengadilan Tinggi Israel.
Selama periode 24 jam ini, baik itu sandera di Gaza maupun tahanan Palestina di penjara-penjara Israel belum akan dibebaskan.
Setelah masa banding berlaku, kemungkinan besar pertukaran sandera dan tahanan tahap pertama akan dilakukan pada Kamis (23/11) atau Jumat (24/11).