Menurut laporan The Economist, Jokowi saat pertama kali memenangkan pemilihan presiden pada 2014, hanyalah seorang pengusaha kecil. Ia tak seperti presiden lainnya yang berasal dari dinasti militer maupun politik.
"Dia tampak berbeda. Dia seorang pengusaha kecil. Anak-anaknya, klaimnya, tidak memiliki ambisi politik," tulis The Economist.
Namun, letupan kecil yang mengubah segalanya pun terjadi tak lama kemudian hingga pada akhirnya mengubah citra Jokowi dari representasi 'Wong Cilik' menjadi dinasti politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut The Economist, Jokowi tampaknya dihantui kecemasan akan upaya pemakzulan yang pernah dilontarkan sejumlah pihak bahkan sebelum ia menginjakkan kaki di istana kepresidenan.
Lihat Juga : |
"Saat memenangkan pemilihan yang ketat atas Prabowo Subianto, seorang pensiunan jenderal dan mantan menantu Soeharto, Jokowi menolak untuk memberikan kursi kabinet dengan imbalan dukungan di legislatif dari sepuluh partai politik Indonesia, dengan berjanji untuk menunjuk pemerintahan teknokrat. Enam pihak menanggapi dengan membahas pemakzulan Jokowi bahkan sebelum dia menginjakkan kaki di istana kepresidenan," tulis media tersebut.
"Pengalaman itu tampaknya telah menghantui Jokowi," lanjut media itu.
Setelah menjabat, tulis The Economist, pemerintahan Jokowi pun memanipulasi perpecahan di dalam partai-partai oposisi "untuk memasang komite eksekutif yang mendukungnya."
Pada 2016, para pendukung itu pun masuk ke dalam koalisi dan kabinet Jokowi. Pada 2019, papar The Economist, Jokowi juga mengambil langkah mengejutkan dengan menunjuk Prabowo sebagai menteri pertahanan setelah mengalahkan dia di Pilpres tahun itu.
Tak sampai situ, Jokowi serta-merta membawa Partai Gerindra milik Prabowo masuk ke dalam kabinet sehingga memperluas koalisinya.
"Selama pandemi, dia bermain-main dengan gagasan untuk memperpanjang masa jabatannya melalui deklarasi keadaan darurat, atau mengubah konstitusi untuk memungkinkannya mencalonkan diri untuk ketiga kalinya. Tetapi para pemimpin partai politik menolak gagasan itu, dan Jokowi mengubah arah," tulis The Economist.
"Dalam pemilihan presiden awal tahun ini, dia mendukung Prabowo, yang memilih Gibran Rakabuming Raka selaku putra sulung Jokowi, sebagai wakil presidennya. Mereka akan menjabat pada 20 Oktober," lanjut media tersebut.
Meski sejauh ini hubungan "kemitraan" antara Jokowi dan Prabowo terlihat kuat, The Economist mengendus beberapa keretakan dalam ikatan keduanya.
Partai Gerindra merupakan partai pertama yang menarik diri dari pembahasan untuk merevisi UU Pilkada. Prabowo, dalam pidatonya pada 25 Agustus lalu, juga menyindir sosok yang haus akan kekuasaan, yang diduga merujuk pada Jokowi.
"Itu adalah tanda tak berterima kasih yang langka dari Prabowo, dan tanda lain bahwa keseimbangan kekuatan di antara mereka berada di bawah tekanan," tulis media itu.
(blq/bac)