Selain faktor sejarah, ada juga alasan lain yang dinilai membuat warga Korsel berdemo menolak status darurat militer.
Menurut Iannone, status darurat militer yang ditetapkan Presiden Yoon pada Selasa (3/12) bukan bertujuan untuk mengamankan Korsel dari ancaman komunis dan Korut, tetapi lebih cenderung bertujuan untuk mengamankan kekuasaannya sebagai presiden.
Sebab, belakangan, Yoon sering terlibat beberapa kasus skandal kontroversial yang membuat kepercayaan publik Korsel terhadapnya menurun drastis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, kata Iannone, status darurat militer ini ditetapkan agar Yoon dianggap sebagai pahlawan negara yang ingin mengamankan Korsel dari ancaman komunis dan ancaman Korut.
Motif inilah yang kemudian membuat warga Korsel marah dan menolak status darurat militer.
"Deklarasi darurat militer di tengah dorongan pemakzulan terhadap pejabat kunci dan tuduhan diktator legislatif oleh oposisi menunjukkan kepada banyak orang bahwa ini lebih merupakan upaya untuk mengkonsolidasikan kekuasaan daripada menanggapi keadaan darurat nasional yang sebenarnya," tutur Iannone.
"Pandangan ini diperkuat oleh para pemimpin oposisi dan bahkan tokoh-tokoh di dalam partai Yoon sendiri yang mengkritik langkah tersebut sebagai inkonstitusional, memperkuat ketidakpercayaan publik terhadap niat presiden," tambahnya.
Kemarahan publik Korsel imbas penetapan status darurat militer oleh Presiden Yoon ini kemungkinan bakal menyebabkan berbagai efek lanjutan. Salah satu di antaranya adalah potensi kudeta.
Yoon berpotensi dikudeta oleh warga Korsel dari kursi kepresidenan. Terlebih, warga Korsel juga sudah melakukan demo besar-besaran di kantor Majelis Nasional untuk mendesak sang presiden segara mundur.
Meski begitu, Iannone punya pandangan berbeda soal hal ini. Ia mengatakan, penolakan warga Korsel terhadap status darurat militer tidak akan menyebabkan kudeta di Korsel. Sebab, kata dia, masyarakat Korsel kini lebih demokratis dan mementingkan jalan musyawarah daripada konfrontasi untuk mencapai sebuah konsesi.
"Penolakan masyarakat terhadap darurat militer kemungkinan besar, menurut saya, tidak akan mengakibatkan kudeta langsung. Meski begitu, situasi ini dapat menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi krisis institusional atau militer," kata Iannone.
"Namun, konteks saat ini berbeda. Masyarakat Korea Selatan kini lebih demokratis, dengan lembaga-lembaga sipil dan opini publik yang berkomitmen aktif untuk membela prinsip-prinsip demokrasi. Reaksi cepat dari masyarakat, lembaga-lembaga seperti Majelis Nasional, dan tokoh politik membuat kecil kemungkinan terjadinya kudeta militer, meskipun ketegangan tetap tinggi," tuturnya lagi.
Selain itu, Iannone juga menjelaskan bahwa keputusan Presiden Yoon untuk menetapkan status darurat militer di Korsel pada Selasa lalu tidak akan menyebabkan ia digulingkan. Apalagi, saat ini, ia juga telah mencabut status darurat militer tersebut.
Namun, hal berbeda bisa terjadi jika Yoon tidak mencabut status tersebut. Menurut Iannone, jika Yoon bersikukuh menetapkan status darurat militer, pihak oposisi bisa saja memakzulkan Yoon secara paksa dari kursi presiden.
"Menurut Pasal 77 Konstitusi Korea Selatan, presiden wajib mencabut darurat militer atas permintaan mayoritas parlemen, seperti yang terjadi beberapa jam setelah pernyataan Yoon," jelas Iannone.
"Jika presiden menolak untuk menghormati ketentuan konstitusi atau terus memerintah dengan cara yang dianggap otoriter, pihak oposisi dapat memulai proses pemakzulan secara formal. Namun, bahkan jika proses pemakzulan dimulai, pemecatannya akan bergantung pada persetujuan Mahkamah Konstitusi, yang memiliki wewenang untuk membuat keputusan akhir," kata dia lagi.
(bac)