Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, mengumumkan status darurat militer pada Selasa (3/12) malam waktu setempat.
Dalam pidato yang disiarkan di televisi, Yoon mengatakan tindakan ini diperlukan untuk melindungi Korsel dari "kekuatan komunis".
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk melindungi Korea Selatan yang liberal dari ancaman yang ditimbulkan oleh pasukan komunis Korea Utara dan untuk melenyapkan elemen-elemen antinegara, saya dengan ini menyatakan darurat militer," ujar Yoon dikutip AFP.
Namun, Yoon dilaporkan sudah resmi mencabut status darurat militer di Korsel pada hari ini, Rabu (4/12) usai diberlakukan kurang dari 12 jam.
Pencabutan status darurat militer itu dilakukan setelah Yoon mengumpulkan anggota kabinetnya dan menyetujui desakan Majelis Nasional melalui voting untuk membatalkan darurat militer.
Darurat militer sendiri merupakan bentuk pemerintahan sementara yang dipegang oleh otoritas militer selama keadaan darurat, demikian dikutip Al Jazeera.
Penetapan darurat militer ini sebetulnya bukan barang baru di Korea Selatan. Sebab, negara berjuluk Negeri Ginseng itu juga pernah menetapkan status darurat militer pada 1948. Itu merupakan kali pertama Korsel menetapkan status tersebut.
Saat itu, presiden pertama Korsel, Syngman Rhee, menetapkan status darurat militer guna melawan kekuatan komunis dari Korea Utara.
Penetapan status militer terakhir Korsel sebelum yang terjadi saat ini adalah pada Desember 1979 lalu.
Penetapan status darurat militer itu diawali insiden bersejarah yang terjadi pada Oktober 1979. Saat itu, pemimpin diktator Korsel, Park Chung Hee, tewas dibunuh oleh kepala intelijennya sendiri.
Peristiwa berdarah tersebut membuat Korsel mengalami kekosongan pemimpin sehingga terjadi kekacauan di mana-mana. Banyak masa yang melakukan demonstrasi imbas tewasnya Park di tangan anak buahnya sendiri.
Dua bulan setelah kematian Park, yakni pada Desember 1979, seorang jenderal angkatan darat Korsel, Chun Doo-hwan, mengambil alih pemerintahan Korsel dan mengumumkan status darurat militer. Hal ini dilakukan untuk mengisi kekosongan pemimpin yang terjadi di Korsel.
Bersambung ke halaman berikutnya...