Jakarta, CNN Indonesia --
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyerahkan surat nominasi Penghargaan Nobel Perdamaian kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Tindakan Netanyahu ini dinilai konyol di tengah agresi Israel di Gaza yang telah menewaskan puluhan ribu nyawa warga sipil Palestina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perang yang juga diakukan banyak negara sebagai Genosida. Momen tersebut terjadi saat acara makan malam antara Trump dan Netanyahu di Gedung Putih, Senin (7/7) malam waktu setempat.
Netanyahu datang membawa "hadiah spesial" untuk Trump: surat nominasi Nobel Perdamaian dari dirinya sendiri.
"Dia [Trump] sedang menciptakan perdamaian, dari satu negara ke negara lain, dari satu kawasan ke kawasan lain," ujar Netanyahu sambil menyerahkan surat tersebut di atas meja makan.
"Saya ingin memberikan kepada Anda, Tuan Presiden, surat yang saya kirim ke Komite Nobel, saya mencalonkan Anda untuk Hadiah Nobel Perdamaian, dan itu memang pantas Anda dapatkan," lanjutnya.
Trump tampak terkejut sekaligus tersanjung.
"Saya tidak tahu tentang ini. Wow. Terutama dari Anda, ini sangat berarti. Terima kasih banyak, Bibi," kata Trump.
Pencitraan di tengah Genosida
Momen 'pencalonan' ini mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama aktivis HAM dan pengamat internasional.
Banyak yang menilai langkah Netanyahu tak lebih dari pencitraan politik murahan yang tidak etis, mengingat perang di Gaza telah menewaskan lebih dari 57 ribu orang, mayoritas warga sipil yang termasuk anak- anak kecil juga, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza yang dikutip PBB.
Bagaimana mungkin seseorang yang memimpin serangan tanpa henti ke rumah sakit, sekolah, dan kamp pengungsi bisa dengan santainya mengusulkan orang lain sebagai pembawa damai?
Netanyahu sendiri berada di Washington untuk membahas kelanjutan negosiasi gencatan senjata 60 hari antara Israel dan Hamas, yang tengah berlangsung di Qatar.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Trump sendiri memang dikenal terobsesi dengan Nobel Perdamaian. Ia telah beberapa kali menyindir bahwa dirinya lebih layak mendapatkan penghargaan itu dibanding tokoh-tokoh sebelumnya.
Kini, dengan perang Gaza sebagai konteks, Trump melihat peluang besar untuk "menyelamatkan dunia" sekaligus memperkuat kampanye politiknya.
Trump saat ini berharap kesepakatan gencatan senjata yang ditawarkan Qatar bisa menjadi batu loncatan menuju kemenangan diplomatik yang akan mendongkrak gambarnya di mata dunia.
Gencatan itu termasuk pembebasan sandera dan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza. Namun, salah satu poin krusial yang masih jadi perdebatan adalah soal apakah gencatan senjata ini akan menjadi akhir dari perang secara keseluruhan.
Ini adalah sesuatu yang sejauh ini belum disepakati oleh Netanyahu maupun Hamas.
Visi tak realistis: Gaza jadi 'Riviera Timur Tengah'
Salah satu ide Trump yang paling kontroversial adalah proposal Trump yang sempat ia usulkan pada Februari lalu: Menjadikan Gaza sebagai "Riviera of the Middle East".
Ide itu mencakup pengusiran warga Palestina dari Gaza dan pembangunan wilayah tersebut menjadi kawasan turis elite.
Proposal yang penuh tingkah kolonialisme modern ini sempat menimbulkan gelombang protes internasional, dan hingga kini belum secara resmi dibahas lagi.
Namun ketika ditanya ulang pada Senin malam, Netanyahu mengatakan bahwa itu merupakan bagian dari "pilihan bebas."
"Kalau orang ingin tinggal, silakan. Kalau ingin pergi, mereka harus bisa pergi. Itu seharusnya tidak menjadi penjara," ujarnya, menyamakan jalur Gaza yang dibombardir siang malam dengan tempat yang bisa ditinggalkan seperti hotel.
Kritik internasional menguat
Langkah Netanyahu mencalonkan Trump untuk Nobel Perdamaian dinilai sebagai bentuk kemunafikan terang-terangan.
Di saat dunia menyaksikan kehancuran Gaza yang semakin parah, dan ketika organisasi-organisasi internasional mulai menyebut aksi Israel sebagai bentuk kejahatan perang, Netanyahu justru mencoba menormalkan narasi bahwa Trump adalah penyelamat.
Usulan ini bukan hanya konyol, ini dinilai sebagai penghinaan terhadap nilai-nilai perdamaian itu sendiri.
Apapun hasil dari negosiasi di Doha nanti, satu hal tampak jelas: panggung perdamaian kini sedang dipakai sebagai alat tawar-menawar politik pribadi.
Di tengah hancurnya Gaza dan duka jutaan rakyat Palestina, Netanyahu dan Trump justru sibuk mengatur pencitraan global.