Setelah bercerai pada 2014, ia mulai aktif di media Iran.
"Iran sangat haus dengan dukungan dari Barat sehingga mereka akan berbicara dengan siapa pun yang punya paspor Barat," ujarnya.
Saat menghadiri konferensi di Teheran pada 2017 yang dihadiri Khaled Mashal dan Qassem Soleimani, Perez-Shakdam mendengarkan langsung pidato Ayatollah Khamenei yang mengutuk Israel sebagai "tumor kanker."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia merasa saat itu pandangannya setara dengan semangat "perlawanan" yang dibawa Iran.
Lihat Juga : |
Dalam sebuah wawancara di Press TV pada 2018, ia bahkan secara terang-terangan menyatakan bahwa perlawanan bersenjata adalah satu-satunya cara untuk memperjuangkan hak Palestina.
"Dalam kasus Palestina, saya rasa satu-satunya jalan adalah lewat perlawanan bersenjata," katanya saat itu.
Meski sempat mendukung kelompok seperti Hamas dan Hezbollah sebagai simbol perlawanan terhadap penindasan, Perez-Shakdam mengaku selalu terganggu dengan sentimen antisemit yang ia temui di Iran, bahkan di kalangan terdidik.
"Orang-orang terpelajar di Iran mengatakan pada saya bahwa orang Yahudi punya tanduk dan ekor. Itu sangat menakutkan," katanya.
Perubahan sikapnya mulai terjadi ketika anak perempuannya yang kini berusia 17 tahun mulai mempertanyakan pandangan ibunya soal Israel, setelah dilihat secara terbuka dari konten pro-Israel di YouTube.
Pertanyaan-pertanyaan dari sang anak mendorongnya untuk mempertimbangkan ulang semua keyakinannya.
"Saya merasa bersalah dan malu dengan latar belakang saya. Tapi setelah banyak membaca, saya sadar bahwa saya benar-benar salah," katanya.
Kini, anak perempuannya bahkan menyatakan keinginan untuk bergabung dengan militer Israel.
Perez-Shakdam menegaskan bahwa niatnya bukan untuk mencemarkan siapa pun, melainkan untuk memberikan perspektif dari seseorang yang pernah berada "di sisi lain."
"Saya tidak ingin jadi gadis poster untuk Israel. Tapi penting untuk mematahkan narasi kebencian," ujarnya.
Menurutnya, ini adalah bagian dari proses mea culpa, sebuah bentuk pertanggungjawaban moral atas apa yang ia dukung dan sampaikan di masa lalu.
"Saya merasa penting untuk mengakui kesalahan saya, untuk menunjukkan bahwa saya pernah salah. Tapi juga untuk menyampaikan bahwa saya punya perspektif yang lebih utuh sekarang."
(zdm/bac)