Jakarta, CNN Indonesia --
Nama Satria Arta Kumbara, desertir marinir TNI Angkatan Laut, menjadi sorotan publik.
Itu setelah ia muncul dalam sebuah video yang menyatakan keinginannya kembali menjadi warga negara Indonesia (WNI) setelah Satria bergabung sebagai tentara relawan di Rusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam video yang beredar luas, Satria mengaku tak mengetahui bahwa kontrak yang ia tandatangani dengan Kementerian Pertahanan Rusia berdampak pada pencabutan kewarganegaraannya sebagai WNI.
Kini, ia memohon kepada Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan Menteri Luar Negeri Sugiono agar diizinkan pulang ke Tanah Air.
Namun, Satria bukanlah satu-satunya. Rusia diketahui tengah aktif merekrut warga asing, terutama dari negara-negara berkembang, untuk dikirim ke medan perang di Ukraina.
Modus Rusia rekrut tentara bayaran
Rusia menggunakan berbagai cara untuk merekrut tentara asing, dengan menjanjikan insentif seperti gaji tinggi, izin tinggal, bahkan kewarganegaraan hanya dengan satu tahun masa dinas.
Rekrutmen ini menargetkan warga dari negara-negara seperti Nepal, India, Indonesia, Sri Lanka, Somalia, hingga Kuba, sebagian besar dari mereka adalah pekerja migran, pengangguran, atau orang-orang yang terjebak masalah keimigrasian.
Modus perekrutan dilakukan melalui promosi di media sosial seperti YouTube, menggunakan agen, atau jaringan perekrut yang menjanjikan pekerjaan aman di Moskow.
Relawan juga ada yang berasal dari penjara, dengan janji penghapusan hukuman pidana jika mereka bersedia ikut berperang.
Banyak dari mereka yang awalnya dijanjikan tugas ringan di wilayah aman, justru akhirnya diseret ke garis depan sebagai "umpan meriam".
Mereka ditempatkan dalam unit gabungan dengan pasukan Rusia tanpa pelatihan yang cukup, tanpa bantuan medis, dan tanpa fasilitas bahasa.
Hal-hal tersebut menyebabkan banyak yang terluka parah bahkan tewas.
Dalam beberapa kasus, tentara bayaran ini dipaksa untuk tetap berada di garis depan meski telah menyatakan keinginan untuk pulang.
Salah satu pria asal Sri Lanka mengaku kepada media Jerman DW, "Saya bertanya kepada komandan bahwa saya ingin pulang ke Sri Lanka, tapi ia bilang itu tidak mungkin. Menurut kontrak, saya akan dipenjara 15 tahun jika melarikan diri."
Bersambung ke halaman berikutnya...
Dilansir dari media barat DW, salah satu contoh dari seorang pria asal Sri Lanka berusia 21 tahun yang mengira akan menjadi pembantu logistik.
Ia dijanjikan gaji US$2.300 per bulan atau sekitar Rp37 juta dan kewarganegaraan Rusia untuk dirinya dan orang tuanya. Namun, ia justru dikirim ke garis depan di Ukraina dan ditangkap setelah terluka.
Pria ini sebelumnya bekerja di sebuah restoran cepat saji di Moskow setelah visanya habis. Ia bergabung dengan tentara Rusia setelah merasa tertekan untuk mendapat status legal di Rusia.
"Dia bilang saya tidak akan dikirim ke garis depan, hanya sebagai pembantu," ujar pria tersebut, mengutip temannya yang merekrut.
Hal serupa dialami pria asal Nepal berusia 35 tahun yang sebelumnya bekerja sebagai sopir taksi dengan penghasilan US$400 per bulan.
Tertarik dengan janji penghasilan besar, ia menandatangani kontrak selama satu tahun di Moskow.
Setelah pelatihan singkat, ia dikirim ke Donetsk dan kemudian terluka di medan perang.
Pria Nepal tersebut menyebut bahwa dalam unitnya terdapat 23 orang Nepal, 3 India, dan 11 warga Rusia. Mereka berkomunikasi menggunakan alat penerjemah suara.
"Ada banyak uang kalau kamu mau bergabung," ujarnya tentang ajakan yang ia terima dari temannya di India.
Tetapi banyak dari mereka tidak bisa kembali pulang. Saat mencoba kabur atau meminta pulang, mereka diancam hukuman penjara hingga 15 tahun berdasarkan kontrak militer yang telah mereka tandatangani.
Rusia mengeksploitasi kondisi para warga asing ini yang umumnya tidak memahami hukum dan sedang dalam situasi keuangan yang sulit.
Dalam banyak kasus, mereka berada di Rusia dengan status ilegal atau overstay, dan tekanan untuk mendapatkan status legal membuat mereka mau menandatangani kontrak militer.
Laporan lain juga menyebut bahwa Rusia memaksa sejumlah mahasiswa asing dan pekerja migran untuk bergabung ke militer dengan ancaman bahwa visa mereka tidak akan diperpanjang jika menolak.
Seorang juru bicara intelijen militer Ukraina (HUR), Petro Yatsenko, mengungkap bahwa Rusia sering kali merekrut warga asing melalui iklan media sosial atau perekrut yang menyamar sebagai agen kerja.
"Mereka menjanjikan pekerjaan di perusahaan, lalu mengatakan bahwa mereka hanya akan ditempatkan di wilayah aman," kata Yatsenko kepada DW.
Nasib yang tak pasti
Banyak tentara bayaran asing yang kini menjadi tahanan perang (POW) di Ukraina. Mereka berasal dari berbagai negara seperti Nepal, Sri Lanka, Somalia, Kuba, dan Sierra Leone.
Namun, proses pemulangan mereka ke negara asal tak mudah. Beberapa negara seperti Nepal dan Sri Lanka tengah berupaya bernegosiasi agar warganya bisa dipulangkan.
Seorang pria asal Sierra Leone yang ikut konferensi pers di Kyiv mengatakan bahwa ia awalnya dijanjikan pekerjaan konstruksi.
"Saya sudah pernah ikut perang di negara saya sendiri dan tak ingin perang lagi," ujarnya.
Menurut laporan CNN, Rusia telah merekrut sekitar 15.000 warga Nepal. Pemerintah Nepal sendiri mengeklaim hanya 200 warganya yang bergabung, 13 di antaranya tewas.
Akibat hal ini, Nepal kini melarang warganya bekerja ke Rusia dan menindak tegas pihak-pihak yang terlibat perekrutan, termasuk dengan menangkap 18 orang yang diduga menjadi perekrut.
Beberapa laporan juga menyebut terdapat aksi pelarian massal tentara asing dari barisan militer Rusia.
Pada Mei lalu, sekelompok tentara Nepal dikabarkan melarikan diri dari wilayah pendudukan Luhansk.
Pada Juni, media Prancis France 24 juga melaporkan bahwa 22 warga Sri Lanka melarikan diri dari militer Rusia.
Seperti yang dialami Satria Kumbara, konsekuensi dari keterlibatan sebagai tentara relawan di Rusia bisa sangat besar, tak hanya kehilangan kewarganegaraan, tetapi juga terjebak di wilayah konflik tanpa perlindungan hukum yang jelas.