Nama desertir anggota Marinir TNI Angkatan Laut Satria Arta Kumbara menjadi sorotan publik.
Dalam video yang beredar, Satria Kumbara menyatakan keinginannya kembali menjadi warga negara Indonesia (WNI) setelah bergabung sebagai tentara relawan di Rusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satria mengaku tidak mengetahui bahwa kontrak yang ia tandatangani dengan Kementerian Pertahanan Rusia menyebabkan pencabutan status kewarganegaraan Indonesianya.
Ia kini memohon kepada Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan Menteri Luar Negeri Sugiono agar bisa pulang ke Tanah Air.
Namun, kisah Satria kemungkinan tidak semudah itu. Kontrak militer yang telah ia tandatangani berpotensi menjebaknya secara hukum di Rusia jika ia membatalkannya secara sepihak.
Nasib serupa pernah dialami seorang pria asal Sri Lanka berusia 21 tahun yang juga menandatangani kontrak dengan Kementerian Pertahanan Rusia untuk menjadi tentara bayaran.
Awalnya dijanjikan hanya akan bekerja sebagai pembantu logistik, pria itu justru dikirim ke garis depan di wilayah Ukraina yang diduduki Rusia, tepatnya di sekitar Donetsk.
Setelah dua bulan penempatan di wilayah belakang, ia dikirim ke garis depan dan akhirnya terluka serta ditangkap oleh militer Ukraina.
Dalam wawancara dengan media Jerman DW, ia mengungkap bahwa dirinya sempat meminta izin untuk kembali ke Sri Lanka. Namun, permintaan itu ditolak.
"Saya meminta ke komandan bahwa saya ingin pulang ke Sri Lanka, tapi dia bilang itu tidak mungkin. Menurut kontrak, saya akan dipenjara 15 tahun jika melarikan diri," ujar pria tersebut.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Satria Kumbara bisa menghadapi ancaman serupa jika ia memutuskan untuk membatalkan kontraknya secara sepihak dan pulang ke Indonesia.
Statusnya sebagai tentara bayaran dalam sistem militer Rusia membuatnya tunduk pada ketentuan hukum negara tersebut.
Dalam unit pria Sri Lanka itu, terdapat pula warga asing lainnya dari Nepal, India, Kyrgyzstan, dan Tajikistan.
Mereka semua disebut hanya mendapat penempatan satu kali di garis depan, namun risiko cedera maupun kematian tetap sangat tinggi.
Laporan Bloomberg, yang mengutip pejabat Eropa, menyebut bahwa Rusia telah memaksa ribuan pekerja migran dan mahasiswa asing untuk bergabung dengan tentara dan dikirim ke Ukraina.
Mereka diancam bahwa visa mereka tidak akan diperpanjang jika menolak bergabung dengan militer.
Bersambung ke halaman berikutnya...