Jakarta, CNN Indonesia --
Perang Kamboja dan Thailand kian membara di hari kedua, Jumat (25/7). Jika konflik tak kunjung reda bisa berdampak ke kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Perang telah menyebabkan 15 orang di Thailand dan satu orang di Kamboja tewas. Konflik tersebut juga membuat lebih dari 120.000 warga di perbatasan kedua negara meninggalkan rumah mereka untuk mengungsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah komunitas internasional meminta semua pihak menahan diri untuk tak saling serang. Ketua ASEAN tahun ini, Malaysia, bahkan menyerukan gencatan senjata dan siap menjadi fasilitator.
Bagaimana posisi dan peran Indonesia dalam konflik Kamboja-Thailand?
Akademisi di Sekolah Stratejik dan Global Universitas Indonesia yang fokus masalah pertahanan dan keamanan internasional, Sya'roni Rofii, mengatakan Indonesia bisa menjadi mediator.
"Indonesia sebagai salah satu pendiri ASEAN perlu memperlihatkan kepemimpinannya di kawasan dengan cara kontak dengan pemimpin Thailand dan Kamboja. Menawarkan diri sebagai mediator untuk mengakhiri eskalasi," kata Sya'roni saat dihubungi CNNIndonesia.
Pemerintah Indonesia, lanjut dia, bisa menawarkan Jakarta sebagai tempat perundingan.
Indonesia pernah berinisiatif terlibat aktif untuk menyelesaikan krisis di Myanmar. Pada April 2021, Jakarta menjadi tuan rumah rapat darurat membahas situasi salah satu negara Asia Tenggara ini.
Dua bulan sebelum pertemuan puncak itu, Angkatan Bersenjata Myanmar di bawah pimpinan Aung Hlaing Main mengkudeta pemerintahan sah. Sejak saat itu, kekerasan terus terjadi bahkan hingga sekarang.
Pertemuan tersebut menghasilkan Five Point of Consensus (5PC) yang berisi penghentian kekerasan, dialog konstruktif, bantuan kemanusiaan, utusan khusus ASEAN, dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar.
Saat menjadi ketua ASEAN pada 2023, salah satu fokus utama Indonesia adalah meredakan krisis Myanmar dengan berkoordinasi ke sesama negara anggota. Berbagai langkah ditempuh termasuk yang mereka sebut silent diplomacy atau shuttle diplomacy (diplomasi ulang-alik yang menjangkau pihak-pihak terkait). Namun, beberapa pihak menilai langkah ini tak cukup signifikan. Kekerasan masih terjadi dan krisis politik masih berlangsung.
Sya'roni meyakini di bawah pimpinan Prabowo Subianto, Indonesia bisa berperan jauh lebih aktif untuk kawasan Asia Tenggara.
"Saya kira dengan Pak Prabowo sebagai presiden ada terlibat aktif sebagai mediator," ucap dia.
Sya'roni lantas mencontohkan kasus pembuatan konten asal Indonesia yang ditangkap militer Myanmar tetapi berhasil dipulangkan ke Indonesia.
Menurut pengamat UI itu tindakan tersebut bukti pemerintah Indonesia punya akses ke jejaring militer di kawasan Asia Tenggara. Terlebih, Prabowo pernah memiliki hubungan dengan militer Kamboja.
Saat masih aktif di militer, Prabowo sempat terjun langsung melatih anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Kamboja yang sedang mengikuti pendidikan militer di Indonesia.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Indonesia dan Thailand juga memiliki hubungan diplomatik dan relasi militer yang kuat. Kerja sama di bidang pertahanan kedua terus meningkat termasuk latihan bersama hingga industri kemitraan pertahanan.
"Saya kira, inisiatif itu harus ditawarkan pemerintah," imbuh dia.
Berbeda dengan Sya'roni, Peneliti yang fokus dalam dinamika keamanan Indo-Pasifik dan ASEAN dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Waffaa Kharisma punya penilaian sendiri.
Dia menyoroti sikap pemerintah Indonesia yang ditunjukkan Kementerian Luar Negeri soal konflik perbatasan Kamboja-Thailand. Menurut Waffaa, peran mereka sangat terbatas pada perlindungan warga negara Indonesia (WNI).
"Saya pikir ini pengakuan implisit bahwa kita tidak ada kesamaan di kawasan, tidak ada kemampuan untuk menghimpun perdamaian," ungkap peneliti itu.
Waffaa juga membahas pernyataan resmi Kemlu terkait konflik dua negara di Asia Tenggara ini. Kementerian tersebut menyatakan bahwa mereka yakin sebagai negara yang bertetangga, kedua negara akan kembali ke cara-cara damai untuk menyelesaikan perbedaan mereka, sejalan dengan prinsip-prinsip yang tercermin dalam Piagam ASEAN dan Traktat Persahabatan dan Kerja Sama.
Menurut dia, keyakinan dan harapan bukan merupakan strategi maupun langkah konkret. Waffa menyarankan Menteri Luar Negeri Sugiono turut aktif terlibat dalam upaya mencari solusi.
"Berharap situasi membaik bukan strategi. Saya pikir ini perlu ditindaklanjuti dengan Menlu setidaknya yang kemudian berkontak dengan Malaysia untuk tidak hanya memberi dukungan di belakang, tetapi juga maju dan standby untuk berkunjung dan berdiplomasi," ujar Waffaa.
Dampak ke RI jika perang tak kunjung selesai
Kedua pengamat hubungan internasional itu juga mengungkap potensi dampak jika konflik militer di perbatasan Kamboja dan Thailand tak kunjung selesai.
Konflik yang terus berlanjut bisa mengarah ke perang dan mengganggu stabilitas kawasan Asia Tenggara serta ASEAN itu sendiri. Selama ini padahal blok tersebut kerap mengeklaim sukses dari perang terbuka sesama anggota.
Menurut Waffaa prinsip ASEAN unity in diversity (bersatu dalam keberagaman) bisa berubah menjadi disunity. Di mata global, kepercayaan terhadap Asia Tenggara juga menurun.
Selain itu, Asia Tenggara akan dipandang sebagai kawasan tak stabil dan investasi bakal berkurang.
"Kepercayaan dan investasi kepada mekanisme kawasan ASEAN berkurang, investasi dan kepercayaan kepada member states-nya juga bisa jadi berkurang. Ini bukan lagi wilayah yang stabil," ungkap dia.
Lebih lanjut, Waffaa mengungkapkan jika perang meluas ekonomi secara perlahan bakal terganggu terutama jika ada disrupsi fisik khusus seperti jalur perekonomian, lumbung beras, alur laut, dan pemindahan orang dalam skala besar.
Sya'roni juga mengatakan perang yang membesar bisa berdampak ke mobilitas manusia dan barang intra kawasan.
"Jika perang berlanjut, ada cost ekonomi yang harus dibayar negara sekitarnya entah karena ada potensi pengungsi atau instabilitas kawasan," ujar pengamat UI ini.
Saat ini, sejumlah negara di Asia Tenggara sedang berjuang menumbuhkan ekonomi negara. Upaya mereka tampak tertatih-tatih setelah Amerika Serikat mengumumkan tarif impor yang cukup tinggi.
Kombinasi tarif impor tinggi dari AS, situasi geopolitik yang tegang, dan konflik di kawasan Asia Tenggara, jika tak teratasi dengan cepat bisa membuat blok ini tersengal-sengal.