Jakarta, CNN Indonesia --
Seorang perempuan Indonesia berusia 19 tahun bernama Nawza Aliya meninggal dunia di Kamboja pada Selasa (12/8) setelah diyakini menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus ditawari lapangan pekerjaan.
Menurut informasi yang terkumpul dari Kementerian Luar Negeri RI dan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI), sebelum berakhir di Kamboja perempuan asal Deli Serdang, Sumatra Utara, itu mengaku kepada keluarga akan melakukan interview kerja di Medan. Namun, beberapa hari kemudian keluarga mendapatkan kabar bahwa Nawza sudah berada di Thailand hingga akhirnya tiba di Kamboja.
Sejak itu, komunikasi Nawza dan keluarga sempat terputus. Pihak keluarga juga telah melapor kepada Kementerian Luar Negeri RI dan pada awal Agustus lalu menerima kabar bahwa Nawza dirawat di Rumah Sakit Rujukan Siem Reap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak itu, kondisi Nawza terus memburuk hingga koma pada 11 Agustus 2025 dan akhirnya meninggal dunia pada 12 Agustus 2025 pukul 10.20 waktu setempat.
"Berdasarkan keterangan resmi rumah sakit dan Kepolisian Kamboja, almarhumah meninggal akibat overdosis obat yang menyebabkan komplikasi dan hepatitis akut (keracunan pada liver)," ungkap Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha melalui keterangan tertulis kepada wartawan pada Kamis (21/8).
Sementara itu, KP2MI mendapat informasi bahwa korban mendapat tawaran kerja di Kamboja dari perekrut. Skema yang dialami korban terindikasi mirip TPPO yang dijanjikan penghasilan tinggi, menggunakan kedok formal untuk mengelabui keluarga, kemudian komunikasi yang dibatasi setelah berada di luar negeri.
Jika terkonfirmasi, Nawza menjadi warga Indonesia yang menjadi korban kesekian TPPO yang marak di Kamboja dan Thailand.
Bersama Laos, Kamboja dan Thailand memang menjadi tiga negara Asia Tenggara yang getol menjadi sarang sindikat TPPO lintas negara, terutama terkait penipuan online (online scam) dan judi online.
Sebelum Nawza, sudah banyak warga Indonesia yang jadi korban dan angkanya terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Berapa jumlah WNI korban TPPO di 3 negara ini?
Di Kamboja, dari Data KBRI Phnom Penh, per Maret 2025, kedutaan menerima rata-rata 2 hingga 25 kasus setiap hari di hari kerja.
Kasus TPPO yang terus muncul membuat kawasan ini rentan perdagangan manusia. Namun, komitmen ASEAN, sebagai organisasi Asia Tenggara, tampaknya masih "terbatas".
Padahal, korban sindikat TPPO lintas-batas negara ini tak hanya menyasar WNI, tapi juga warga negara Asia Tenggara lainnya.
Kenapa ASEAN terlihat 'enggan bergerak'?
Peneliti yang fokus di Asia-Pasifik dari Centre for Strategic International Studies (CSIS) Indonesia Waffaa Kharisma mengatakan situasi saat ini menyulitkan negara-negara ASEAN untuk bekerja sama secara teknis memberantas TPPO, salah satunya perbedaan penegakan hukum atau law enforcement.
"Menurut saya ASEAN yang sekarang susah untuk kerjasama teknis dan robust [memperkuat], biasanya karena perbedaan-perbedaan kapasitas law enforcement antara negara ASEAN," kata Waffaa saat dihubungi CNNIndonesia.com, Sabtu (23/8).
Tantangan itu juga mencakup kelengkapan peralatan, perbedaan penegakan hukum, dan keinginan memberantas TPPO dari tiap pemerintahan.
Masalah lain, lanjut Waffaa, yakni perbedaan legalitas. Indonesia memandang judi online ilegal, sementara Kamboja legal. Situasi ini tentu menjadi tantangan tersendiri.
Penanganan TPPO dari pemerintah Indonesia, menurut dia, juga terkonsentrasi kasus per kasus atau bergerak berdasarkan laporan kemudian ditelusuri.
Peneliti itu memandang pihak-pihak berwenang Indonesia "kadang susah jemput bola" untuk urusan TPPO. Pemerintah Indonesia, lanjut dia, tak bisa jemput bola ke area yang dianggap ilegal.
Sementara itu, Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan Kemlu memang menangani kasus berdasarkan laporan yang masuk.
"Iya, berdasarkan laporan yang masuk, baik melalui perwakilan atau PWNI melalui berbagai kanal, hotline, langsung, maupun portal peduli WNI," kata Kasubdit Kawasan Asia Tenggara Direktorat PWNI Kemlu Rina Komaria saat dikonfirmasi, Senin (25/8).
Bagaimana penegakan hukum TPPO lintas batas negara ini? Baca di halaman berikutnya >>>
Deklarasi ASEAN cuma garang di atas kertas?
ASEAN memiliki sejumlah dokumen atau deklarasi yang fokus soal kerja sama kejahatan lintas batas serta perdagangan manusia. Misalnya ASEAN Declaration on Transnational Crime pada 1997, lalu ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime pada 1999, hingga Labuan Bajo Declaration on Advancing Law Enforcement Cooperation in Combating Transnational Crime pada 2023.
Dokumen yang terakhir merupakan hasil KTT ASEAN ke-42 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, yang diketuai Indonesia.
Isi deklarasi itu di antaranya bekerja sama dalam meningkatkan kapasitas penegakan hukum, berbagai informasi hingga penyelidikan terkait TPPO.
Dalam pertemuan puncak selanjutnya di Laos, ASEAN mengeluarkan Deklarasi Vientiane pada September 2024.
Beberapa poin memperkuat kerja sama antar lembaga penegak hukum dan pengelolaan perbatasan di negara anggota ASEAN untuk memberi respons yang efektif terhadap penipuan kerja daring dan mencegah korban kembali diperdagangkan ke dalam tindak pidana paksa.
"[Kerja sama itu] termasuk melalui pertukaran informasi, peningkatan kapasitas, bantuan hukum timbal balik, ekstradisi, dan investigasi/operasi terkoordinasi bersama, sebagaimana mestinya," demikian salah satu poin di deklarasi Vientiane.
Dalam deklarasi itu juga tertera, ASEAN mengembangkan kebijakan aturan, dan regulasi untuk merespons secara efektif kemunculan dan perkembangan ancaman penipuan kerja daring, dengan menekan akuntabilitas para pelaku sembari memperhatikan perlindungan korban.
Di poin selanjutnya, deklarasi itu menerangkan ASEAN mempromosikan penerapan hukuman di kalangan aparat penegak hukum untuk memberi panduan yang tepat dan diperlukan guna melindungi tanggung jawab atas tindakan terpaksa korban yang dilakukan.
Meski rentetan deklarasi dikeluarkan, komitmen ASEAN terhadap penanganan hingga pemberantasan TPPO dipertanyakan.
"Masalahnya adalah di ASEAN ini dokumen lebih banyak di atas kertas. Komitmen negara-negara anggota dikembalikan lagi pada komitmennya [masing-masing]," kata Direktur Eksekutif organisasi yang fokus di buruh migran Migrant Care, Wahyu Susilo.
Dia lalu berujar, "Indonesia selepas jadi ketua ASEAN, tidak terlalu peduli pada problema ini."
Wahyu juga menyebut negara anggota ASEAN yang areanya jadi tempat kejahatan seperti Kamboja, Myanmar, dan Laos juga tak punya komitmen untuk memerangi perdagangan manusia.
Di beberapa negara itu, terdapat sejumlah kamp judi online yang diduga didanai investor kriminal China. Tindakan yang minim itu, kata Wahyu, lantaran negara ini bergantung secara finansial ke pihak lain.
Operasi penipuan yang marak di tiga negara itu berakar pada jaringan regional kasino dan perjudian daring dengan aturan yang sangat longgar, dimulai pada 1990-an dan semakin intensif pada 2000-an.
Laporan United States of Institute of Peace (USIP) yang dirilis pada Mei tahun lalu menyebut beberapa pemerintah mempromosikan operasi penipuan itu sebagai kontribusi yang sah bagi pembangunan ekonomi.
Penanganan yang minim juga sejalan dengan laporan dari Amerika Serikat terkait human trafficking in persons. Ketiga negara itu masuk dalam tier tiga. Artinya, sangat buruk dalam penanganan perdagangan manusia.
"Tak ada penegakan hukum, tak ada Undang-Undang yang memadai, dan pemerintahnya korup," tuduh Wahyu.
Waffaa punya penilaian sendiri soal deretan deklarasi ASEAN. Dia memandang deklarasi itu tak cukup berdampak untuk mengurangi jumlah korban TPPO.
"Berdampak sebagai pembangunan norma, bukan sebagai mekanisme pemberantasan yang langsung mengurangi," ungkap dia.
Apa yang harus ASEAN lakukan?
Di kesempatan ini, Wahyu mengatakan modalitas hukum yang dimiliki ASEAN bisa jadi dasar untuk menangani TPPO. Namun, dia menyoroti apakah Indonesia punya agenda dan keseriusan untuk memberantas masalah ini.
"Modalitas hukum sudah cukup memadai, tapi yang diperlukan adalah political will dan apakah Indonesia masih melihat ASEAN sebagai forum strategis untuk menangani ini?" ungkap Susilo.
Lebih lanjut, Wahyu mengatakan Indonesia bisa berkolaborasi dengan negara seperti Thailand, Vietnam, dan Filipina untuk menangani kasus tersebut. Warga dari ketiga negara itu banyak yang juga dilaporkan jadi korban TPPO.
Sementara itu, Waffaa mengatakan yang bisa dilakukan ASEAN adalah adalah terus mendorong kerja sama antara aparat penegak hukum dan badan intelijen agar segera ada tindakan.
"ASEAN menurut saya bisanya paling hanya bisa encourage kerja sama antara law enforcement, lewat ASEANAPOL, atau encourage sharing intelligence, supaya langsung bisa dikerjakan," ungkap dia.
ASEANAPOL merupakan ASEAN Chiefs of National Police yang menangani aspek pencegahan, penegakan hukum, dan operasional kerja sama melawan kejahatan transnasional.