Sektor madrasah juga terfragmentasi berdasarkan aliran keagamaan, dikelola oleh lima Wafaq besar yang mewakili mazhab Sunni, yakni Deobandi, Barelvi, Ahl-e-Hadith, serta Syiah dan Wahabi.
Masing-masing dewan mengatur kurikulumnya sendiri dan beroperasi semi-otonom, sehingga integrasi dengan sistem pendidikan nasional sulit dilakukan. Fragmentasi ini memperkuat segregasi ideologis, karena setiap aliran mendidik santri berdasarkan doktrin yang berbeda.
Banyak madrasah di Pakistan beroperasi dalam lingkungan tertutup, menciptakan isolasi sosial dan intelektual. Melalui ceramah, materi pembelajaran, dan penafsiran selektif terhadap teks agama, sebagian madrasah mendorong pandangan kaku dan eksklusif yang memupuk intoleransi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam beberapa kasus, hal ini memberi ruang bagi ideologi yang membenarkan kekerasan dalam konteks geopolitik. Aktor politik memanfaatkan pola ini untuk menggalang dukungan di wilayah konflik seperti Palestina, Afghanistan, dan Kashmir, menempatkan madrasah sebagai instrumen mobilisasi ideologis ketimbang lembaga pendidikan modern.
Laporan International Crisis Group mengenai pendidikan agama di Pakistan menyebutkan bahwa madrasah kerap berada di persimpangan antara agama dan politik. "Banyak sekolah keagamaan berkembang di ekosistem yang dipengaruhi oleh kebutuhan geopolitik dan kepentingan politik negara," tulis ICG.
Dualisme pendidikan yang memisahkan sistem publik/swasta sekuler dari pendidikan religius turut memperdalam marginalisasi. Pemerintah-pemerintah Pakistan sebelumnya berupaya mereformasi madrash, tetapi langkah tersebut lebih banyak didorong kepentingan politik jangka pendek daripada visi pendidikan jangka panjang.
Ketika reformasi menyentuh kurikulum atau pengawasan reguler, resistensi muncul karena dianggap mengancam identitas Islam yang melekat pada negara Pakistan sejak awal berdirinya.
Meski memiliki peran historis dan sosial yang signifikan, sistem madrasah modern tidak mampu mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin plural dan kompleks.
Sementara lembaga-lembaga tersebut tetap menjadi sumber utama pendidikan agama dan jaring pengaman sosial bagi kelompok miskin, sistem ini semakin terpinggirkan dari dunia pendidikan global. Penolakannya terhadap reformasi, ketergantungan pada kurikulum lama, serta struktur yang terfragmentasi membuat madrassa semakin terlepas dari tuntutan zaman.
Sebagian pengamat menilai bahwa dunia modern menuntut cendekiawan agama yang mampu menafsirkan ajaran Islam secara relevan, kontekstual, dan intelektual.
Dengan meningkatnya kompleksitas hubungan antara agama dan kehidupan kontemporer, mulai dari teknologi, ekonomi, hingga geopolitik, kebutuhan akan ulama yang memahami konteks global pun meningkat. Namun, sistem pendidikan agama Pakistan belum menyediakan jalur modern yang dapat menghasilkan jenis intelektual semacam itu.
Pertanyaan fundamental pun mengemuka: mengapa negara yang dibangun di atas dasar ideologi Islam tidak mampu mengembangkan alternatif modern bagi pendidikan agama, seperti yang dilakukan banyak negara di dunia Islam?
Ketika negara-negara lain berhasil menggabungkan tradisi keagamaan dengan kurikulum modern, Pakistan justru tetap mengandalkan madrassa tradisional tanpa pengembangan institusi pendidikan agama yang progresif.
Hingga kesenjangan ini teratasi, madrasah akan tetap mendominasi lanskap pendidikan religius di Pakistan, lembaga yang berakar kuat dalam tradisi, tetapi belum mampu menyiapkan siswa menghadapi tantangan ekonomi dan sosial dunia modern.
Sistem yang semula berfungsi sebagai pilar pendidikan agama kini berada pada titik kritis, di mana ketidakmampuannya beradaptasi dapat memperpanjang siklus keterbelakangan sosial dan ekonomi bagi jutaan warganya.