Jakarta, CNN Indonesia -- Matahari sudah tak terik ketika sore menjelang. Dalam suatu ruangan, diskotik pun dimulai. Tapi ini bukan diskotik sembarang diskotik. Diskotik ini merupakan kepanjangan dari Diskusi Asik dan Menggelitik. Kali ini yang dibahas mengenai pedofilia
Diskotik ini digelar belum lama ini di Gedung 2 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad), Sumedang. Pembicara didatangkan dari salah satu organisasi non-pemerintah internasional yang memperjuangkan hak-hak anak Indonesia, yakni Save The Children dengan mengusung topik pedofilia.
Diiringi dengan rintikan hujan, agenda tahunan yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurnalistik Unpad ini bertujuan untuk memberikan edukasi di luar kegiatan jurnalistik. Dengan wajah tengadah memperhatikan sekelilingnya, Yanti Kusumawardhani dari Save The Children menceritakan pengalamannya dalam menangani anak-anak Indonesia yang terlantar dan menjadi korban kekerasan fisik maupun mental.
Dalam diskusinya, Yanti mengangkat kisah seorang anak dari TKW di Bandung Barat yang ditelantarkan. Selama berbulan-bulan, anak tersebut berada di dalam rumah tanpa busana dan untuk menyambung hidup ia hanya mengkonsumsi benda yang ada di sekitarnya seperti kertas dan kayu. Save The Children bekerja sama dengan Dinas Sosial akhirnya menemukan anak tersebut dan memperkenalkannya kepada dunia luar. Mendengar cerita tersebut, seluruh peserta diskusi terlihat nanar tak percaya karena merasakan kedekatan dengan anak tersebut.
Karena efek media yang terlalu besar, foto anak tersebut tersebar. Sering terjadi ketidak selarasan antara kode etik yang dianut oleh Save The Children dengan media. ”Harusnya ada penandatanganan mengenai konsep yang akan wartawan pakai mengenai anak kepada orangtua,” ungkapnya.
Konsep tersebut harus dijelaskan dan dipahami oleh orangtua, untuk siapa info ini dibuat dan siapa saja yang dapat melihat. Tidak adanya tanggapan dari masyarakat tentang banyaknya pelanggaran yang terjadi, tidak berarti hal tersebut bukan masalah. Mengutip kata-kata Erich Fromm bahwa “Saat semua orang berbagi kegilaan yang sama, bukan berarti mereka waras.”
Kejahatan anak bukan kasus baru di Indonesia. Sebuah organisasi yang mencegah Eksploitasi Seksual Komersial Anak yang bernama ECPAT mencatat bahwa pada September 2016 hingga Februari 2017, ada enam kasus kejahatan anak dengan jumlah korban yang cukup besar, yakni 157 anak. Kasus ini tersebar di empat provinsi dan enam kabupaten di Indonesia.
Pedofil merupakan salah satu kejahatan seksual. Namun ternyata tidak semua pedofil adalah predator seksual bagi anak-anak. Sebaliknya, tidak semua predator seksual anak-anak adalah pedofil. Dikutip dari The Guardian, hanya 20 persen pedofil yang menjadi pelaku kekerasan seksual pada anak-anak. Kesempatan menjadi penyebab utama dalam tindakan yang digolongkan menjadi kelainan tindak seksual ini.
Menjadikannya Solusi Dengan banyaknya kasus yang terungkap di media menandakan bahwa kasus kekerasan seksual tak bisa dipandang sepi. Latar belakang pelaku kekerasan seksual dimulai saat ia juga pernah menjadi korban. Terlalu besarnya publikasi yang dilakukan oleh media terhadap korban kekerasan seksual pun dikhawatirkan menjadi pemicu lingkaran setan yang terus berkelanjutan.
Dalam hal ini Justito Adiprasetio sebagai pengamat media memberikan pendapatnya. “Tidak bisa menyalahkan masyarakat, karena masyarakat adalah publik budaya di mana yang punya modal untuk mengintervensi publik budaya ini adalah negara,” paparnya.
Pria berkacamata yang hobi menggunakan kaos berwarna hitam ini juga menjelaskan bahwa jika ditemukan sebuah virus yang mematikan, maka negara memiliki dokter dan ahli lainnya di bidang kesehatan yang dapat menanganinya agar tidak tersebar. Begitupun dengan berita yang ada di media, sudah menjadi tugas wartawan untuk menanganinya.
Pulpen yang terus dipegang oleh Yanti akhirnya ia simpan ketika menjelaskan bagaimana penanganan terhadap pelaku pedofil. Kebiri menjadi kata yang viral, padahal hal tersebut sangat melekat dengan hewan. “Tindakan kebiri dirasa masih belum tepat! Walaupun sudah disuntikkan zat untuk meredakan hormon tapi pedofilia itu bersumber di otak. Jadi kalau yang bermasalah otak lalu yang diatasi hormon ya tidak sinkron.” jelasnya lagi.
Ya, ini adalah PR kita bersama dalam menangani permasalahan kekerasan seksual ini, karena belum adanya penyelesaian dari banyaknya kasus yang terjadi. Harus menunggu sampai kapan lagikah agar generasi penerus bangsa ini menjalankan mandat tersebut?