Pernikahan Dini, Apa Saja Dampaknya?

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Jumat, 29 Des 2017 12:08 WIB
Perkawinan dini di Indonesia sampai saat ini masih kerap terjadi. Apa saja dampaknya bagi perempuan?
Ilustrasi (Foto: StockSnap/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Perkawinan dini di Indonesia sampai saat ini masih kerap terjadi. Seperti yang dilansir oleh pressreader.com, tiap harinya lebih dari 41.000 menikah di bawah usia 18 tahun. PBB ( Perserikatan Bangsa-Bangsa) juga menyatakan, perkawinan dini di Indonesia menduduki peringkat ketujuh dunia.

Sedangkan menurut Badan Pusat Statsitik (BPS) yang bekerjasama dengan UNICEF, dan dilansir oleh CNN Indonesia, BPS dan UNICEF merilis data mengenai perkawinan dini di Indonesia, serta menunjukkan angka usia perkawinan anak di bawah umur 18 tahun yang masih sangat tinggi, sekitar 23 persen.

Menurut BPS juga, perkawinan dini lebih banyak terjadi di pedesaan dengan prevelensi angka 27,11 persen, yang jumlahnya lebih banyak dibanding perkawinan dini yang ada di perkotaan dengan prevelensi 17,09 persen. Daerah yang memiliki prevelensi angka perkawinan dini yang tinggi di Indonesia berada di Sulawesi Barat, dengan rata-rata 36,2 persen, disusul Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah.

Banyak faktor yang menjadikan perkawinan dini hingga saat ini masih terus marak terjadi terutama di pedesaan, walaupun jumlah perkawinan dini pertumbuhannya masih stabil, dan relatif menurun sejak tiga dekade ini, dari tahun 2007 hingga 2015, dan stabil sebesar 23 persen.

Walaupun angka menunjukkan semakin adanya penurunan angka perkawinan dini di tiga dekade, akan tetapi, perkawinan anak usia dini, tetaplah menyalahi aturan dan melanggar hak-hak anak. Angka ini harus ditekankan terus, karena bisa menyebabkan dampak terhadap perempuan sebagai korban perkawinan dini dan anak yang nantinya akan dilahirkannya.

Harus Disetop
Menurut laporan yang dirilis oleh UNICEF dan BPS, di Indonesia, perkawinan pada usia tertentu masih dianggap sah dan bisa dilakukan permohonan pernikahan oleh orang tua si pemohon. Dengan persetujuan orang tua, perempuan yang berusia di bawah 18 tahun, atau perempuan yang berusia 16 tahun dan laki-laki yang berusia 19 tahun, bisa melakukan perkawinan dini dengan sah.

Bahkan, orang tua yang ingin menikahkan anaknya yang berusia 16 tahun dapat mengajukan permohonan kepada petugas untuk menikah atas keinginan orang tua. Tak hanya itu, bahkan masih ada oknum yang memalsukan usia perempuan.

Perdebatan juga masih mewarnai dalam permohonan uji materi Undang-Undang Pasal 7 tentang Pernikahan Anak, yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan beranggapan ini hak DPR untuk menguji materi tersebut.

Permasalahan perkawinan dini di Indonesia masih harus diberhentikan. Pernikahan bukan hanya tentang cinta atau terpepet ekonomi semata, atau alasan agama, tetapi ada masa depan anak yang nantinya bakal dilahirkan.

Stigma orang tua akan ketakutan anak atas hamil di luar nikah atau menganggap anak tersebut sudah dewasa masih perlu dibenahi lagi. Terlebih lagi kondisi psikologis, mental, dan emosional yang masih belum stabil, dan organ reproduksi yang masih belum matang tentunya pernikahan dini memiliki dampak yang harus lebih dipertimbangkan oleh orang tua atau anak yang ingin melakukan pernikahan.

Perkawinan anak pada usia remaja akan mengakhiri masa remaja mereka. Padahal pada masa ini, anak seharusnya bisa tumbuh kembang menyalurkan minat bakat mereka dan menjadi masa untuk menyiapkan masa dewasa.

Masih banyak yang perlu dipertimbangkan lagi jika ingin melakukan pernikahan dini, dan menikahkan anak yang masih di bawah usia. Pernikahan anak usia dini merupakan pelanggaran dasar terhadap anak perempuan. Seperti yang dirilis oleh UNICEF dan BPS, pernikahan dini melanggar Konvensi Hak Anak (KHA), Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Deskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Menurut Hukum HAM Internasional, perkawinan merupakan perjanjian formal yang dilakukan orang dewasa. CEDAW juga menegaskan bahwa perkawinan usia anak tidak boleh dinyatakan sah menurut hukum (Pasal 16/2).

KHA juga mendefinisikan setiap orang di bawah usia 18 tahun sebagai anak berhak atas semua perlindungan anak. Perkawinan anak menurut KHA, melanggar HAM anak yang dijamin oleh KHA.

Anak akan kehilangan hak mereka, terutama perempuan yang akan kehilangan hak pendidikannya. Terlebih lagi di Indonesia, jika anak menikah pada usia sekitar 16 tahun, pihak sekolah terpaksa harus memberhentikan anak tersebut dan tentunya ini melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan dan kesetaraan. Bukan hanya itu, hak anak untuk bebas dari kekerasan juga bisa terjadi pada perkawinan dini, karena kondisi mental, psikologis, dan emosional yang masih belum matang menyebabkan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) akan rentan terjadi.

Hak untuk dilindungi dari eksploitasi dan hak tidak dipisahkan dari orang tua juga akan dilanggar. Bahkan kondisi fatal yang bisa dirasakan oleh perempuan dan mengancam jiwa akan dialami oleh 14,2 juta jiwa anak diseluruh dunia yang melakukan pernikahan dini setiap tahunnya, selama periode 2011-2020.

Pernikahan dini juga menyumbang angka kematian yang tinggi karena keadaan yang belum matang, menyebabkan tubuh si ibu menjadi tidak normal.
Anak perempuan yang melahirkan pun memiliki tingkat risiko komplikasi yang tinggi, seperti fistula obsteri, infeksi, anemia, pendarahan hebat dan ekslampsia. Bayi yang dilahirkan pun memiliki resiko kematian lebih tinggi, dan kemungkinannya dua kali lebih besar untuk meninggal sebelum usia 1 tahun, dibandingkan dengan anak yang dilahirkan oleh ibu yang berusia dua puluh tahunan.

Untuk meminimalisir dampak buruk yang terjadi akibat perkawinan anak, pemerintah daerah dapat mencontoh Kalimantan Selatan yang bekerjasama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP-PA) yang mendeklarasikan gerakan setop perkawinan anak (Media Indonesia 12/17).

Pemerintah, lembaga sosial, dan masyarakat harus saling bersinergi dalam meminimalisir perkawinan anak. Karena bagaimanapun, anak di usia remaja masih perlu mematangkan mental mereka dan organ reproduksinya. Banyak hal yang masih perlu dikembangkan oleh anak di masa remaja, karena menikah bukan hanya cinta dan seksualitas semata, melainkan masa depan yang akan dibangun dan anak yang akan dilahirkan sebagai penerus bangsa. (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER