Jakarta, CNN Indonesia --
Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) melansir temuan hasil pemantauan proses pemungutan suara pada pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta 2017 yang menyebut terjadi kekisruhan terkait hak pilih.
Setidaknya, 25 persen dari total tempat pemungutan suara (TPS) mencatat keributan. Kisruh terjadi di beberapa TPS di antaranya di TPS 49 Kelurahan Penggilingan, kecamatan Cakung dan TPS 17 Kelurahan Pertukangan, Kecamatan Pesanggrahan.
"25 persen kisruh terjadi karena hak pilih," kata Hafiz usai konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/2).
Koordinator Nasional (Kornas) JPPR Masykurudin Hafiz menjelaskan, persoalan ini berawal dari KTP elektronik yang dijadikan basis untuk menentukan DPT.
Padahal, menurut Hafiz, kepemilikan KTP elektronik masyarakat masih dalam proses, baik dalam proses perekaman maupun mereka yang belum punya. Kedua, saat pemutakhiran data lalu keluarlah Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Menyikapi hal ini, Hafiz melanjutkan, KPU DKI punya kebijakan untuk warga yang belum masuk DPT, tetap bisa menggunakan hak pilih sepanjang warga membawa KTP elektronik dan Kartu Keluarga.
Namun, kisruh di TPS tak terhindarkan, terjadi akibat informasi yang kurang tersampaikan perihal persyaratan tersebut.
"Setelah pukul 12.00, mereka terkumpul banyak. Satu jam terakhir ribut, terus juga ada (TPS) yang surat suaranya kurang," imbuhnya.
Oleh karena itu, JPPR merekomendasikan agar pemutakhiran data tidak cuma bagi mereka yang berusia 17 tahun saat hari pemungutan suara.
Selain itu, informasi kelengkapan syarat untuk menggunakan hak pilih harus benar-benar diketahui warga, baik warga yang memiliki KTP elektronik atau masih dalam proses, seharusnya masuk di DPT.
"Saat pemutakhiran, dipastikan e-KTP palsu atau tidak," terang Hafiz.
JPPR melakukan pemantauan di 40 kecamatan di lima wilayah DKI Jakarta, yakni Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur dan Jakarta Pusat. Masing-masing kecamatan diambil 24 TPS, sehingga total lokasi pemantauan sebanyak 940 TPS.
Hafiz menekankan fokus pemantauan hanya saat pemungutan suara. Selain aspek penggunaan hak pilih, JPPR juga memberikan catatan khusus soal aspek kemandirian proses pemilihan, khususnya soal penggunaan atribut pasangan calon.
"26 persen orang (saksi atau pendukung) yang hadir di TPS memakai atribut, kaos yang bisa diidentifikasi," tutur Hafiz.
Menurut dia, hal ini disebabkan intensitas persaingan antar pasangan calon yang tinggi, sehingga tidak cukup saksi dari masing-masing paslon yang hadir, bahkan pendukung pun turut hadir.
"Mengapa mengganggu, karena enam persen memengaruhi situasi di TPS," ucapnya.
Dari pemantauan JPPR, terdapat enam persen TPS melakukan praktik yang memengaruhi pilihan warga. Ia menyebutkan, antara lain teriakan dukungan pada salah satu paslon, penggunaan atribut paslon, serta membicarakan paslon hingga merayu pemilih.
Temuan-temuan perihal proses pemungutan suara, sambung dia, akan dilaporkan ke Bawaslu DKI Jakarta, terutama terkait data pemilih. Ia berharap, data pemilih bisa diperbaiki sehingga bisa lebih akurat dan warga tidak lagi kehilangan hak pilih.
Apalagi, kemungkinan akan ada Pilkada putaran kedua. "Persoalan utama pemenuhan hak pilih harus sudah diperbaiki di putaran kedua," tandasnya.
(bir)