Jakarta, CNN Indonesia -- Calon gubernur nomor urut dua Basuki Tjahaja Purnama disebut kerap membuat kejutan dalam berkampanye di Pilkada DKI Jakarta. Ahok, sapaan Basuki, suka memilih berkampanye di daerah yang bermasalah dan rawan.
Anggota tim pemenangan Ahok-Djarot bidang data dan informasi Eva Kusuma Sundari mengatakan, cagub yang didukungnya tidak suka mencari aman dalam berkampanye. Hal itu yang menjadi sebab Ahok kerap melakukan kampanye senyap di putaran dua.
"Kalau kami terlalu terbuka kan rawan juga. Kita tahu lah gangguan kan (ormas) suka sekali cegat, menghalangi, terutama Pak Ahok. Jadi lebih baik kita melakukannya tidak usah koar-koar tapi efektif. Yang penting kan cari suara," ujar Eva saat dihubungi wartawan, Jumat (17/3).
Kejutan-kejutan Ahok saat berkampanye juga disebut sering membuat kelimpungan pengurus partai pendukungnya di tingkat cabang dan ranting.
Politikus PDI Perjuangan itu mengatakan, banyak kader partainya di tingkat ranting yang acap terkejut karena mendengar kabar Ahok berkampanye di daerahnya, satu jam sebelum kedatangan. Kedatangan Ahok dianggap mengejutkan para pengurus parpol di tingkat bawah.
"Bahkan yang didatangi itu PDIP kadang marah karena tidak lapor duluan. Karena suka bikin dadakan, satu jam sebelumnya PDIP baru dikontak 'eh tolong diamankan' begitu loh. Jadi itu bagian dari strategi," ujarnya.
Anggota Fraksi PDIP di DPR RI itu juga mengatakan bahwa Ahok tak pernah menganggap dirinya sebagai calon gubernur saat berkampanye. Ia selalu menganggap dirinya gubernur yang harus mengetahui masalah warganya, sehingga hasil blusukan saat kampanye akan ditindaklanjuti usai Ahok cuti nanti.
"Dia mau yang produktif. Di putaran pertama kan dia sudah melakukan itu, jadi begitu dia balik lagi menjabat efektif dia selesaikan pekerjaan rumahnya selama temuan di putaran pertama. Sekarang ini dia cari PR, pas nanti sampai Oktober dia berkuasa dan syukur bisa terus, akan dia tentukan penyelesaian atas masalah yang ia dapat," kata Eva.
Peran Penting Mesin Politik Partai Ahok saat berinteraksi dengan warga di kampanye putaran pertama. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Eva mengatakan mesin politik partai sangat berpengaruh dalam pemenangan peserta Pilkada. Peran figur dan elite partai politik dianggap tidak penting dalam menentukan keberhasilan menyokong peserta Pilkada.
Eva mengatakan asumsi itu terbukti pada putaran pertama Pilkada DKI.
"Itu contohnya, boleh Mas Agus (Harimurti Yudhoyono) didukung berapa partai, tapi kalau mesin politik partai-partai itu tidak jalan ya nggak ada suara. Ini beda dengan pilkada di luar Jakarta yang figur itu dominan faktornya. Kalau di Jakarta tidak bisa begitu," ujar Eva.
Pada Pilkada DKI putaran pertama, pasangan calon Agus-Sylvi didukung empat parpol; Demokrat, PAN, PKB, dan PPP. Ahok-Djarot diusung partai dengan jumlah yang sama; PDI Perjuangan, Golkar, NasDem, dan Hanura.
Sementara, pasangan calon nomor urut tiga Anies Baswedan dan Sandiaga Uno diusung oleh dua parpol, Gerindra dan Hanura.
Dengan dukungan empat parpol yang dimiliki Agus-Sylvi, pasangan itu meraih 937.955 atau 17,05 persen suara. Sedangkan Ahok-Djarot mendapat 2.364.577 suara atau 42,99 persen. Pasangan Anies-Sandi mengumpulkan 2.197.333 atau 39,95 persen suara dari pemungutan suara 15 Februari lalu.
Eva mengatakan, hasil pemungutan suara di putaran pertama menunjukkan bukti tidak efektifnya kehadiran elite dan tokoh parpol pada masa kampanye.
"Jadi ya ini warning bagi orang-orang yang gaya-gayaan di parpol itu, di DKI tidak laku itu," tuturnya.