Jakarta, CNN Indonesia -- Calon gubernur Anies Baswedan menyebut sistem pemerintahan terbuka (
open governance) yang akan dianutnya jika terpilih kelak bukan cuma soal keterbukaan informasi.
Open governance yang akan dilaksanakan nanti juga menyangkut partisipasi warga dalam membangun ibu kota.
"Yang disebut sudah
open governance itu proses partisipasinya juga, bukan hanya teknologi. Jadi kenapa terbuka, karena informasinya diketahui, yang paling penting terjadi interaksi," kata Anies di Jakarta Timur, Minggu (26/3).
Open governance yang ada saat ini belum maksimal karena hanya sekadar keterbukaan informasi pada publik. Menurutnya, kekuatan dari
open governance adalah interaksi dan keterlibatan warga dengan pemerintah saat menyusun sebuah kebijakan.
Dia mencontohkan, dalam sebuah lingkungan jika warga diajak berunding mengenai program, maka
open governance telah diterapkan.
"Bukan terletak pada informasinya terbuka saja, tapi justru itu alatnya. Interaksinya itu yang dibutuhkan. Pengambilan keputusannya semua terlibat," kata Anies.
Penjelasan Anies terkait open governance di Jakarta yang belum maksimal sempat disampaikan saat mengunjungi Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Jumat (24/3) lalu. Anies pun berjanji akan menerapkannya jika terpilih nanti.
Pernyataan itu sempat menuai tanggapan dari kubu petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Salah satu juru bicara Ahok-Djarot, Raja Juli Antoni menilai Anies tidak membuka mata terhadap perkembangan pemerintahan di Jakarta yang sudah serba terbuka selama lima tahun terakhir.
Pernyataan Raja Juli Antoni, terkait
open governance ini lantas menuai bantahan dari salah satu juru bicara Anies-Sandi. Wakil Ketua Tim Media Anies-Sandi, Naufal Firman Yursak menilai pernyataan Raja Juli Antoni keliru.
"Dia sebut petahana sudah lima tahun menjalankan
open governance, itu keliru. Yang terjadi justru sebaliknya," ujar Firman dalam keterangan yang diterima
CNNIndonesia.com hari ini.
Menurut Firman, ada sejumlah hal yang bisa dijadikan bukti kekeliruan pernyataan Raja Juli Antoni. Seperti misalnya saat ini belum ada keterbukaan dana pembangunan di setiap kelurahan.
Selain itu, Firman menyebutkan, bukti lain yang menunjukan ketidakterbukaan pemerintahan Ahok adalah data banjir di Jakarta selama dia memimpin, pembangunan pulau C dan D tanpa IMB, hingga keputusan diskresi terkait kompensasi koefisien lahan bangunan (KLB) bagi para pengembang yang tanpa melibatkan DPRD.
Padahal, kata dia, ketentuan KLB sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ).
Perda itu dipatahkan oleh Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 175 Tahun 2015, dan revisinya Pergub Nomor 251 Tahun 2015, serta Pergub Nomor 119 Tahun 2016. Bahkan, Pergub Nomor 210 Tahun 2016 mengizinkan kenaikan KLB tanpa ada batasan yang cukup jelas.
Pergub terakhir ini ditandatangani dua hari sebelum Ahok memasuki masa cuti Pilgub DKI pada Oktober 2016. Terlebih, tambah dia, bentuk kompensasi yang diizinkan tidak dihitung masuk ke dalam kas daerah.
Hasil dari kompensasi itu bernilai Rp3,8 triliun dari total 11 proyek sejak satu tahun Pergub Nomor 175 Tahun 2016 itu diberlakukan dan tidak masuk dalam APBD DKI Jakarta.
Ketiadaan partisipasi DPRD dalam proses penentuan kompensasi tersebut, kata Firman, telah menghilangkan partisipasi warga maupun Musyawarah Perencanaan Pembangunan.