Jakarta, CNN Indonesia -- Budaya politik dan demokratisasi warga Indonesia saat ini dinilai belum matang. Pandangan itu muncul usai pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta 2017.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI Adriana Elizabeth, pascapilkada pandangan yang terbentuk adalah budaya politik bersifat menghalalkan segala cara untuk memenangkan kontestasi pemilu.
Pandangan itu muncul akibat adanya gerakan untuk memenangkan calon gubernur dan wakil gubernur tertentu selama Pilkada DKI berlangsung. Adriana menganggap, gerakan yang dilakukan beberapa kelompok itu menggunakan segala cara demi mencapai tujuannya.
"Apa ini budaya kita? Kita tidak punya budaya yang
firm. Demonstrasi ugal-ugalan. Menghalalkan segala cara untuk menang. Itu menurut saya budaya demokrasi yang belum matang," kata Adriana di kantornya, Rabu (3/5).
Adriana membandingkan budaya politik di Indonesia dengan Korea Selatan. Menurutnya, budaya warga Korsel dalam berpolitik telah terbentuk dan terlihat saat pemakzulan terhadap Park Geun-hye berlangsung, Maret lalu.
Sebelum dan sesudah Parkir Geun-hye dimakzulkan, warga Korsel disebut konsisten menjaga kesantunan selama melakukan demonstrasi. Hal itu ia anggap berbeda dengan tipikal demontrasi di Indonesia, terutama saat Pilkada DKI berlangsung.
"Parpol harus melakukan pendidikan politik paling tidak untuk kader-kadernya. Untuk jangka panjang, masalah budaya kita yang mana? Kalau seperti ini menjadi tidak santun. Kalau memenangkan pertarungan dengan menghalalkan segala cara itu bukan kemenangan yang substantif," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, peneliti P2P lainnya Irene Gayatri menilai telah terjadi politisasi identitas dalam skala besar selama Pilkada DKI berlangsung.
Ia menganggap fenomena tersebut terjadi akibat kegagalan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu DKI Jakarta dalam menerapkan tindakan tegas terhadap pelanggaran bersifat suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Dia meminta agar penyelenggara pemilu memerhatikan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dalam aturan itu dijelaskan terkait sanksi atas pelanggaran yang bersifat menguntungkan pihak tertentu.
"Asumsi politik identitas akan mendulang suara banyak itu masih sahih, apalagi di daerah urban," ujar Irene.
Dia menambahkan, seharusnya penyelenggara dan pengawas Pilkada dapat menindak pelanggaran berbau SARA jika menjadikan produk hukum tersebut sebagai salah satu acuan dalam bertindak.