Jakarta, CNN Indonesia --
Ketua Komisi II DPR Agun Gunandjar Sudarsa menyatakan Demokrat berkeras seluruh syaratnya untuk mendukung pilkada langsung diterima fraksi-fraksi lain. Namun keinginan Demokrat itu belum terpenuhi dalam rapat sinkronisasi dan harmonisasi RUU Pilkada.
"Demokrat masih ngotot untuk syarat uji publik calon kepala daerah. Saya kira itu tidak bisa. Tapi kita lihat saja nanti," kata Agun di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (24/9).
Sepuluh persyaratan yang diajukan Demokrat semalam telah dibahas oleh DPR, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kesepuluh syarat Demokrat itu adalah uji publik atas kompetensi dan integritas calon kepala daerah, efisiensi biaya pilkada, pengaturan kampanye dan pembatasan dana, akuntabilitas penggunaan dana kampanye, larangan politik uang dan mahar untuk partai, larangan fitnah dan kampanye hitam, larangan pelibatan birokrat, larangan pencopotan birokrat pasca pilkada, penyelesaian sengketa pascapilkada, serta larangan kekerasan oleh pendukung calon kepala daerah terhadap keputusan pilkada.
Dari sepuluh syarat itu, ada beberapa yang menurut Demokrat kemarin masih belum diakomodasi oleh draf RUU Pilkada yang ada. Oleh sebab itu Demokrat mengajukan draf RUU Pilkada versinya sendiri. Syarat-syarat Demokrat yang dibahas alot adalah diskualifikasi terhadap calon kepala daerah dan partai pengusungnya yang terlibat politik uang, uji publik terhadap calon kepala daerah, permintaan agar calon kepala daerah bertanggung jawab jika pendukungnya berbuat kerusuhan, dan tuntutan efisiensi anggaran pilkada yang lebih mendalam.
Dalam perkembangan pembahasan di Komisi II, satu syarat Demokrat yang paling sulit dipenuhi adalah uji publik atas calon kepala daerah. Demokrat menghendaki lulus atau tidaknya calon kepala daerah ditentukan oleh tim uji publik. Syarat ini ditentang fraksi lain karena fungsi seleksi calon kepala daerah dianggap merupakan wewenang Komisi Pemilihan Umum.
RUU Pilkada akan disahkan menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna DPR, Kamis (25/9). Komisi II mengupayakan jalan musyawarah mufakat dalam pengesahan RUU tersebut. Voting diniatkan sebagai jalan terakhir jika titik temu tak berhasil dicapai.
"Sejak dulu kami melakukan lobi-lobi untuk musyawarah dan mufakat. Tapi pasca pemilu legislatif semua berubah," kata Agun. Dinamika politik usai pileg amat cair.
Konsinyering di Hotel Aryaduta semalam memutuskan pengesahan RUU Pilkada dilakukan Kamis esok, disusul oleh pengesahan RUU Pemerintahan Daerah. RUU Pemda yang seharusnya disahkan kemarin, Selasa (23/9), terpaksa ditunda demi menunggu pembahasan RUU Pilkada rampung.
"RUU Pilkada akan didahulukan pengesahannya karena berhubungan erat dengan RUU Pemda," kata Agun.
Jika paripurna DPR besok memutuskan mengesahkan draf RUU pilkada tak langsung, maka kewenangan DPRD dalam RUU Pemda akan diubah atau disesuaikan. "Harus ada penambahan ayat baru di RUU Pemda terkait fungsi dan wewenang DPRD," ujar Agun.
Sebaliknya, kata Ketua Panitia Kerja RUU Pilkada Abdul Hakam Naja, draf RUU Pemda tak akan berubah jika paripurna DPR mengesahkan draf RUU pilkada langsung.
Alotnya pembahasan RUU Pilkada menyebabkan draf RUU yang semula hanya ada dua --draf pilkada langsung dan tak langsung-- berkembang menjadi empat draf. Keempat draf itu adalah draf pilkada langsung, pilkada tak langsung, pilkada langsung versi Demokrat, dan pilkada langsung-tak langsung versi Dewan Perwakilan Daerah RI.