Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan saran yang ia kemukakan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan presiden terpilih Joko Widodo soal Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) tak ada presedennya.
Belum pernah ada presiden baru mengembalikan suatu UU yang telah disetujui di DPR untuk dibahas kembali. “Saran ini saya paparkan berdasarkan sudut pandang hukum tata negara. Ini situasi spesifik. Sebab kejadian ini belum pernah ada,” kata Yusril kepada CNN Indonesia, Selasa (30/9).
Kepada SBY, Yusril mengusulkan agar ia tak perlu menandatangani UU Pilkada yang disetujui di paripurna DPR sampai masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober. “Presiden tak salah bila tak menandatangani UU Pilkada, sebab sampai hari terakhirnya menjabat, belum 30 hari berlalu sejak UU tersebut disetujui,” ujar Yusril.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesuai konstitusi RI, UUD 1945, RUU yang telah disetujui akan tetap sah menjadi UU dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui, dengan atau tanpa tanda tangan presiden. Saat SBY mengakhiri jabatannya, tenggat itu belum terlewati.
Selanjutnya, Yusril meminta Joko Widodo sebagai presiden baru untuk mengambil alih tanggung jawab UU Pilkada dengan mengembalikannya ke DPR untuk dibahas ulang. “Ketika Jokowi mulai menjabat 20 Oktober, masih ada sisa waktu tiga hari sebelum UU itu efektif berlaku. Dalam tiga hari itu, Jokowi harus menyerahkan kembali UU Pilkada ke DPR,” kata mantan menteri sekretaris negara itu.
Menurut Yusril, Jokowi dapat menolak menandatangani UU Pilkada dan mengembalikannya ke DPR dengan alasan tidak ikut membahasnya. Yusril telah mengkomunikasikan sarannya ini kepada Jokowi atas permintaan SBY, dan Jokowi mengatakan dapat memahami nasihat tersebut.
Namun apakah saran Yusril ini bisa diimplementasikan atau tidak, masih menjadi tanda tanya. “Pasal 20 ayat 5 UUD 1945 tidak mengatur situasi spesifik ini,” kata politikus Partai Bulan Bintang itu.
Pasal 20 ayat 5 hanya berbunyi “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”
Situasi spesifik yang dimaksud Yusril adalah presiden yang akan mengakhiri jabatannya, dalam hal ini SBY, menolak untuk menandatangani UU Pilkada yang sudah disetujui di paripurna DPR. “Ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah RI,” kata Yusril.
Saran Yusril untuk SBY itu disampaikan dalam pertemuan keduanya di Jepang di sela lawatan Presiden SBY ke negara itu. Pertemuan itu dihadiri juga oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung, Sekretaris Kabinet Dipo Alam, dan Duta Besar Indonesia untuk Jepang Yusron Ihza Mahendra yang juga adik Yusril.
Jalan berliku SBYSetibanya di tanah air dini hari ini, SBY menyatakan dia dan para menterinya terus bekerja untuk mengambil langkah tepat terkait UU Pilkada yang menuai protes keras dari publik. “Posisi pemerintah adalah mendukung sistem pilkada langsung dengan perbaikan mendasar,” kata dia.
SBY tidak mendukung UU Pilkada dengan mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD seperti yang disetujui DPR. “Karena itu saya juga berkomunikasi dengan Ketua MK. Saya ingin mendapat kejelasan tafsir Pasal 20 UUD dalam konteks penyusunan UU,” ujarnya.
Presiden dua periode itu menyoroti Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “Setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Dalam hal ini, UU Pilkada tidak disetujui presiden.
“Karena secara eksplisit saya selaku presiden belum memberikan persetujuan tertulis atas hasil pemungutan suara di sidang paripurna DPR kemarin, apakah masih ada jalan bagi saya untuk tidak memberikan persetujuan,” kata SBY.
Terhadap pertanyaan itu, ujar SBY, MK memberi penjelasan bahwa persoalannya terletak pada kebiasaan yang berlaku selama ini. Dalam setiap pembahasan RUU di rapat paripurna DPR, presiden selalu menunjuk menteri untuk mewakili pihak pemerintah. Maka meski menteri tersebut tidak memberi persetujuan atas suatu RUU, kehadirannya dimaknai sama saja dengan memberi persetujuan.
“Kesimpulannya, tidak ada jalan bagi presiden untuk tidak bersetuju atas apa yang telah dihasilkan dalam rapat paripurna DPR,” kata SBY. Untuk itu SBY akan mematuhi pandangan MK dan mencari jalan lain untuk menyelamatkan pilkada langsung.
UU Pilkada yang disetujui DPR pada Jumat (26/9) mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD. UU ini membuat rakyat tidak dapat lagi memilih kepala daerahnya secara langsung. UU Pilkada ditetapkan lewat voting yang diikuti fraksi-fraksi di DPR, kecuali Demokrat yang memilih
walkout. Sebanyak 226 suara dari Koalisi Merah Putih mendukung pilkada melalui DPRD, sedangkan 135 suara dari PDIP, PKB, dan Hanura mendukung pilkada langsung.