Ikuti Yusril, Jokowi Berpotensi Langgar Konstitusi

CNN Indonesia
Selasa, 30 Sep 2014 10:42 WIB
Yusril meminta SBY tak menandatangani UU Pilkada dan Jokowi mengembalikan UU itu ke DPR. Itu bisa jadi jebakan betmen bagi Jokowi.
Jokowi dan SBY (detikfoto/Setpres Cahyo Bruri)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum tata negara Refly Harun tak sepakat dengan saran koleganya, Yusril Ihza Mahendra, terkait Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Yusril mengusulkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak menandatangani UU Pilkada sampai akhir masa jabatannya, 20 Oktober. Selanjutnya ia meminta presiden baru Joko Widodo untuk juga tak meneken UU tersebut dan mengembalikannya ke DPR guna dibahas kembali.

“Dalam bahasa anak muda, saran itu bisa jadi jebakan betmen. Bila SBY tak menandatangani UU Pilkada dan Jokowi juga tak menandatangani serta mengundangkannya, maka Jokowi bisa dianggap melanggar konstitusi,” kata Refly kepada CNN Indonesia, Selasa (30/9).

“Dalam hal ini Jokowi yang terjebak karena ia mendapat bola panas dari SBY,” ujar Refly. Ia meminta saran ini tak digunakan karena berisiko.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara spesifik, kata Refly, Jokowi dapat dianggap melanggar Pasal 20 ayat 5 UUD '45 yang berbunyi “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”

Berdasarkan pasal tersebut SBY memang bisa memilih untuk tidak menandatangani UU Pilkada karena ketika SBY mengakhiri jabatannya, masa 30 hari sejak UU itu disetujui belum lewat. UU Pilkada jatuh tempo untuk diundangkan baru di pemerintahan Jokowi, yakni 26 Oktober –enam hari setelah Jokowi dilantik menjadi presiden.

Refly berpendapat lebih baik SBY yang bertanggung jawab atas UU Pilkada di akhir masa pemerintahannya ketimbang mewariskan masalah ke pemerintahan Jokowi. “Tidak produktif melibatkan Jokowi dalam polemik UU Pilkada. SBY harus berani bertanggung jawab,” ujarnya.

UU Pilkada dengan mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD, kata Refly, tidak mungkin disetujui DPR apabila SBY yang juga Ketua Umum Demokrat memberikan instruksi tegas kepada partainya untuk mendukung penuh opsi pilkada langsung, dan memberi perintah jelas kepada Menteri Dalam Negeri untuk menolak opsi selain pilkada langsung pada rapat paripurna DPR.

“Dari rentetan peristiwa yang sudah terjadi di DPR, SBY terlihat tidak bisa menjaga Demokrat. Kalau Demokrat dia jaga, opsi pilkada langsung pasti menang voting,” kata Refly.

Lulusan Fakultas Hukum UGM itu meminta SBY bertanggung jawab penuh atas kesalahannya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang isinya mencabut UU Pilkada dan menggantinya dengan UU Pilkada Langsung.

Selanjutnya, ujar Refly, biarkan anggota DPR baru periode 2014-2019 yang menilai apakah Perppu tersebut layak atau tidak. Refly menegaskan, Presiden SBY memiliki kewenangan konstitusional untuk mengeluarkan Perppu.

“Tidak penting lagi apa motivasi SBY terkait UU Pilkada. Yang penting dia mau tanggung jawab,” kata Refly.

UU Pilkada yang disetujui DPR pekan lalu, Jumat (26/9), mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD. UU ini membuat rakyat tidak dapat lagi memilih kepala daerahnya secara langsung. UU Pilkada ditetapkan lewat voting yang diikuti fraksi-fraksi di DPR, kecuali Demokrat yang memilih walkout. Sebanyak 226 suara dari Koalisi Merah Putih mendukung pilkada melalui DPRD, sedangkan 135 suara dari PDIP, PKB, dan Hanura mendukung pilkada langsung.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER