Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menegaskan Qanun Jinayat atau peraturan daerah Aceh terkait pidana sesuai syariat Islam tidak datang dari keinginan dan aspirasi masyarakat melainkan sekadar lobi kalangan politikus.
“Saat ini masih terjadi perdebatan di Aceh. Mengapa justru pemerintah lebih ngotot sahkan Qanun itu. Kalau kita lihat ini permainan partai politik bukan keinginan murni masyarakat,” Feri Kusuma dari KontraS mengatakan saat dihubungi CNN Indonesia, Selasa (7/10).
Pada 27 September, tepatnya pukul 3 dinihari, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan Qanun Jinayah. Qanun ini mendapatkan persetujuan secara aklamasi dalam Sidang Paripurna DPRA yang dihadiri oleh 22 dari 69 anggota parlemen Aceh. Politikus dari Fraksi Partai Aceh, Tgk. Muhammad Harun mengatakan persetujuan itu didasarkan atas pertimbangan hukum jinayat merupakan bagian dari pelaksanaan syariat Islam di Aceh dan sangat dinantikan oleh rakyat Aceh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persoalan identitas agama ini dikomodifikasi dan dipolitisir sehingga masyarakat takutFeri Kusuma |
Qanun tersebut sempat diajukan DPRA pada 2009, pada periode kepemimpinan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Namun, saat itu Irwandi menolak untuk menyetujui Qanun tersebut. Pada tahun ini, setelah kepemimpinan Irwandi selesai, DPRA mencoba untuk membawa kembali rancangan Qanun untuk disahkan pemerintah Aceh. Qanun tersebut akhirnya ditandatangani oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah.
Dibawah Qanun Jinayat, masyarakat Aceh dilarang untuk melakukan tindakan yang dianggap melanggar Syariah Islam. Hal itu termasuk zina atau hubungan seksual diluar pernikahan dan berdua-duaan dengan orang diluar muhrim. Qanun tersebut memperbolehkan hukuman cambuk hingga 200 kali dan penjara hingga 200 bulan. Masyarakat juga boleh memilih antara hukuman cambuk atau membayar hukuman denda mulai 200 hingga 2.000 gram emas.
Feri melanjutkan selama ini sudah banyak protes bermunculan dari kalangan masyarakat termasuk kaum ulama tradisional di Aceh. Mereka menilai pelaksanaan hukuman cambuk tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang selama ini dipraktekkan oleh masyarakat, yakni nilai-nilai Islam yang tidak diwarnai dengan kekerasan.
“Tetapi, kuatnya opini publik tentang hukum Allah membuat masyarakat enggan berkomentar,” ujarnya. “ Salah ucap malah bisa dituduh aliran sesat.”
Feri mencontohkan sebuah kasus pada 2012 di mana seorang warga Aceh tewas dikeroyok massa saat diklaim mengajarkan aliran sesat. Isu tersebut dihembuskan dan akhirnya menggerakkan massa untuk bertindak main hakim sendiri.
“Persoalan identitas agama ini dikomodifikasi dan dipolitisir sehingga masyarakat takut,” dia mengatakan.
Sementara itu, soal keluhan masyarakat dibenarkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Djohermansyah Johan, pihaknya banyak menerima komplain dan aduan soal penerapan aturan syariah. "Oleh karena itu terus kami kaji soal benturan dan bentrokannya dengan aturan yang lebih tinggi," katanya.