Qanun Jinayat Dinilai Mendiskriminasi Perempuan

CNN Indonesia
Selasa, 07 Okt 2014 14:33 WIB
Peraturan yang terdapat dalam Qanun Jinayat Aceh hanya mengatur persoalan moral dan bukan persoalan perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Ilustrasi diskriminasi terhadap perempuan (CNN Indonesia/Thinkstock)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengesahan rancangan Peraturan Daerah Aceh tentang pidana (Qanun Jinayat) dinilai aktivis perempuan memuat pengaturan yang tidak melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan dan kejahatan seksual.

Andy Yentriyani, Komisioner dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan peraturan yang terdapat dalam Qanun Jinayat Aceh hanya mengatur persoalan moral dan bukan persoalan perlindungan terhadap perempuan dan anak.

“Pasal-pasal terutama yang mengatur tentang pemerkosaan dan pelecehan sama sekali tidak melindungi perempuan,” dia mengatakan saat dihubungi oleh CNN Indonesia, Selasa (7/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada 27 September, tepatnya pukul 3 dinihari, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan Qanun Jinayah. Qanun ini mendapatkan persetujuan secara aklamasi dalam Sidang Paripurna DPRA yang dihadiri oleh 22 dari 69 anggota parlemen Aceh. Politikus dari Fraksi Partai Aceh, Tgk. Muhammad Harun mengatakan persetujuan itu didasarkan atas pertimbangan hukum jinayat merupakan bagian dari pelaksanaan syariat Islam di Aceh dan sangat dinantikan oleh rakyat Aceh.

Peraturan ini sangat merugikan perempuan korban dan mempersempit akses pada keadilan.Andy Yentriyani
Qanun tersebut sempat diajukan DPRA pada 2009, pada periode kepemimpinan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Namun, saat itu Irwandi menolak untuk menyetujui Qanun tersebut. Pada tahun ini, setelah kepemimpinan Irwandi selesai, DPRA mencoba untuk membawa kembali rancangan Qanun untuk disahkan pemerintah Aceh. Qanun tersebut akhirnya ditandatangani oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah.

Dibawah Qanun Jinayat, masyarakat Aceh dilarang untuk melakukan tindakan yang dianggap melanggar Syariah Islam. Hal itu termasuk larangan bermesraan seperti bersentuh-sentuhan, berpelukan, berpegangan tangan dan berciuman dengan orang diluar muhrim di tempat tertutup dan terbuka meskipun didasari dengan klausul suka sama suka. Selain itu, masyarakat Aceh juga dilarang untuk melakukan zina atau hubungan seksual di luar pernikahan.

Qanun tersebut memperbolehkan hukuman cambuk hingga 200 kali dan penjara hingga 200 bulan. Masyarakat juga boleh memilih antara hukuman cambuk atau membayar hukuman denda mulai 200 hingga 2.000 gram emas. Qanun ini juga diberlakukan bagi masyarakat Aceh non muslim.

Berdasarkan kajian dari tim Komnas Perempuan, Andy mengatakan pasal-pasal yang mengatur tentang pemerkosaan dan pelecehan hanya beresiko membuat pelaku pemerkosaan dan pelecehan seksual dilepaskan dan bebas. Sementara, korban perkosaan dibebankan untuk membuktikan secara fisik bentuk perkosaan yang dihadapinya.

“Ada pasal yang berbunyi pemerkosaan bisa diselesaikan dengan sumpah dan salam empat kali dari pelaku bahwa dia berkata benar (tidak melakukan),” kata dia. “Peraturan ini sangat merugikan perempuan korban dan mempersempit akses pada keadilan.”

Dia kemudian melanjutkan semestinya pemerintah pusat lebih melihat dari persoalan adanya celah bagi pelaku kejahatan seksual dan kekerasan pada perempuan untuk lolos jika peraturan daerah ini benar-benar disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

“Mereka (pembuat kebijakan) sama sekali tidak memikirkan ada kemungkinan perdagangan manusia saat menyetujui peraturan ini.”

Senada dengan itu, Kementerian Dalam Negeri terus melakukan kajian dan pendalaman terkait banyaknya penerapan peraturan daerah yang dinilai bermasalah. Ratusan peraturan daerah telah terindentifikasi bisa menimbulkan keresahan di masyarakat. “Kami bisa saja melakukan pembatalan,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Djohermansyah Johan kepada CNN Indonesia.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER