Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan dalam penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak belum menunjukan keberpihakan pada anak sebagai korban. "Aparat penegak hukum masih menggunakan kacamata kuda," ujarnya saat dihubungi CNN Indonesia, Rabu (19/11).
Selama ini, dalam menangani perkara kejahatan dan kekerasan seksual terhadap anak, putusan Hakim menurut Arist belum mencerminkan rasa keadilan bagi korban. Oleh karenanya, Aris mendorong mata rantai kekerasan terhadap anak ini bisa diputus. Ini merupakan bagian dari refleksi 25 tahun berlakunya Konvensi PBB tentang Hak Anak.
Menurutnya ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan oleh keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Pertama, adalah mendorong keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara agar tidak lagi memberikan kontribusi terhadap kekerasan serta mendorong pemerintah daerah menetapkan kota layak anak sebagai mekanisme/sistem pembangunan berbasis anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, menurut Arist, perlu diterbitkannya sebuah peraturan daerah (perda) perlindungan anak. Sementara pemerintah pusat perlu menyusun rencana aksi nasional maupun rencana aksi daerah Inpres nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak.
"Mendesak DPR-RI dan Pemerintah untuk segera merevisi pasal 81 dan 82 Undang-undang nomro 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," kata Arist. Revisi terutama pada kententuan yang mengatur hukuman terhadap para pelaku kejahatan seksual pada anak. Saat ini hukuman minimal hanya 3 tahun dan maksimal 15 tahun.
Aparat penegak hukum masih menggunakan kacamata kudaArist Merdeka Sirait, Ketua Umum Komnas PA |
Arist berharap revisi yang dihasilkan menjadi 20 tahun hukuman minimal dan hukuman maksimal seumur hidup. Hukuman maksimal ini juga perlu ditambah dengan pemberatan hukum kebiri melalui suntik kimia bagi pelaku kejahatan seksual dewasa.
Deteksi dini terhadap pelanggaran menurut Arist juga perlu dilakukan. Caranya dengan menguatkan lembaga perlindungan anak, pembuatan sistem pendataan dan sistem manajemen perlindungan anak serta membangun sitem rujukan nasional perlindungan anak.
Bila perlu, pemerintah juga didorong untuk membangun rumah perlindungan sosial anak (RPSA) untuk menampung dan memberikan pelayanan dan perlindungan terpadu bagi anak yang membutuhkan. "Kami juga mendorong peran pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat, tokoh masyarakat dan agama, akademisi untuk bersama-sama memerangi pornografi dan pornoaksi melalui gerakan nasional," kata Arist.