Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat politik Hanta Yuda menilai Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Bali merupakan bentuk delegitimasi kekuasaan. Pasalnya Munas yang diinisiasi oleh kubu Aburizal Bakrie alias Ical tersebut tak mendapat sokongan dari petinggi partai beringin yang lain.
"Akbar Tandjung menjauh dari Aburizal dan tidak memberi dukungan Munas. Kalau Akbar Tandjung di sana, suntikan (massa) luar biasa, ketika tarik dukungan maka itu bentuk delegitimasi," ucap Hanta di Jakarta, Sabtu (29/11).
Sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai, Akbar Tandjung masih memiliki kekuatan semi struktural yang dapat mendulang dukungan. Hanta menyebut, Akbar merupakan satu dari tiga patron kuat yang ada di partai beringin tersebut. "Faksi yang lain adalah faksi kultural Jusuf Kalla. Kalau Aburizal adalah faksi struktural," ujar lulusan Universitas Gadjah Mada tersebut.
Hanta berpendapat, Jusuf Kalla berada di pihak lawan dari kubu Aburizal yakni kubu Agung Laksono. "Jusuf Kalla dan Akbar Tandjung sepakat Munas pada Januari 2015. Itu akan semakin mengurangi dukungan ke Aburizal," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alhasil, Aburizal disarankan untuk mencari solusi dan berkompromi dengan dua faksi lain dalam tubuh partai berusia 50 tahun tersebut. "Kalau tetap dijalankan (pemilihan ketua umum baru di Munas), akan sangat sulit karena masalah deligitimasi," ujarnya. Dia juga menilai perlunya Golkar melakukan rekonsialisasi agar persiapan jelang Pemilihan Umum 2019 lebih solid.
Kisruh di internal Golkar terjadi karena kubu Aburizal Bakrie menghendaki Munas digelar mulai Minggu (30/11) hingga Rabu (3/12). Munas tersebut, menurut Ical sesuai dengan hasil kesepakatan Rapat Pimpinan Nasional di Yogyakarta pada 15 November lalu. Namun kubu lainnya yakni Agung Laksono berpendapat Munas harus digelar Januari 2015 merujuk pada hasil rapat Dewan Pengurus Pusat Golkar pada 13 November lalu.