Jakarta, CNN Indonesia -- Ahli hukum tata negara Universitas Hasanuddin Irmanputra Sidin menilai, Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie (ICal) lebih berpeluang untuk diakui oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Pasalnya dalam Undang-undang Partai Politik (Parpol) tak dikenal musyawarah nasional (munas) yang diselenggarakan oleh presidium.
"Kubu (yang akan diakui) yang munasnya sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Parpol," kata Irman, Senin (8/12) kepada CNN Indonesia.
Kubu Ical dinilai Irman bakal diakui oleh Kemenkumham karena diselenggarakan oleh penyelenggara dewan pimpinan pusat (DPP). Ical menggelar Munas IX di Nusa Dua, Bali 30 November - 4 Desember lalu. Ical kembali terpilih sebagai Ketua Umum Golkar untuk periode kedua secara aklamasi dalam munas tersebut. (baca juga:
Agung Serahkan Rekonsiliasi ke Mekanisme Hukum)
Sementara Munas IX Partai Golkar yang lain digelar di Jakarta 6 - 7 Desember kemarin. Penyelengaranya adalah Tim Penyelamat Partai Golkar yang diketuai oleh Agung Laksono. Agung sendiri terpilih menjadi Ketua Umum Golkar dalam Munas kali ini. Agung mengalahkan Priyo Budi Santoso dan Agus Gumiwang dalam pemilihan ketua umum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hari ini kedua kubu berencana menyerahkan kepengurusan hasil munas masing-masing ke Kemenkumham. Sesuai dengan pasal 23 Undang-undang nomor 2 tahun 2008 tentang Parpol, susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan parpol tingkat pusat didaftarkan ke Kemenkumham paling lama 30 hari terhitung sejak terjadinya pergantian kepengurusan.
Sementara Kemenkumham menerbitkan surat keputusan menteri terkait kepengurusan itu paling lama tujuuh hari sejak diterimanya persyaratan.
Yasonna Laoly sendiri sebagai Kemenkumham menurut Irman tidak akan terbebani untuk mengakui kubu mana yang sesuai dengan konstitusi. "Kecuali Kemenkumham membebani diri sendiri dengan logika politik," kata Irman.
Kasus serupa pernah terjadi saat Partai Persatuan Pembangunan punya kepengurusan ganda. Kepengurusan versi Muktamar Surabaya dibawah kepemimpinan Romahurmuziy dan kepengurusan versi Muktamar Jakarta dipimpin oleh Djan Faridz.
Yasonna mengeluarkan surat keputusan pengakuan kubu Romahurmuiziy sebelum diminta untuk ditunda oleh Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN). Penerbitan surat keputusan ini sempat menimbulkan pertanyaan sejumlah pihak. Yasonna yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dinilai terlalu mencampuri urusan partai politik lain dengan mengakui salah satu kubu.