Jakarta, CNN Indonesia -- Kesimpulan survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA cukup unik. Dari survei LSI yang melibatkan 1.200 responden, sebanyak 72,94 persen responden yang dijaring melalui polling dan wawancara mendalam menginginkan islah terjadi melalui jalur internal partai.
Kepada media akhir pekan lalu, salah seorang peneliti LSI, Ardian Sopa berkata kalau lembaganya menemukan ada empat alasan yang mendasari publik ingin Golkar mengakhiri konflik lewat mekanisme internal partai. Maksudnya melalui proses Mahkamah Partai Golkar.
Alasan pertama, kata Ardian, lantaran publik menilai Golkar diposisikan sebagai penyangga politik Indonesia. Oleh karenanya instabilitas di tubuh Golkar bisa sedikitnya mempengaruhi kehidupan politik nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan kedua, dilanjutkan Ardian, apabila Golkar mencapai momentum islah, maka itu akan menjadi panduan partai lain di Indonesia. Terutama, partai-partai yang juga sedang mengalami konflik. Maksudnya, Partai Persatuan Pembangunan.
Alasan Ketiga, kata Ardian, penyelesaian lewat jalur pengadilan justru buruk bagi Golkar di mata publik. Sebab, menurut publik itu akan menambah konflik. Alasan terakhir, tambah Ardian, jalur pengadilan membuat rakyat menilai Golkar punya tradisi panjang dalam selesaikan konflik internal.
Ardian mengungkapkan dari hasil survei disimpulkan bahwa citra Golkar di mata masyarakat memburuk apabila kedua kubu menyelesaikan kisruh melalui pengadilan. "Itu membuktikan kedua kubu tidak bisa menyelesaikan sendiri masalahnya. Dampaknya akan membuat citra mereka buruk," katanya. Bahayanya, menurut Adrian, hilangnya kepercayaan masyarakat pada partai berlambang beringin membuat Golkar bisa kehilangan suara pada pemilihan umum 2019.
Konflik dalam tubuh Partai Golkar bermula saat beberapa sosok muda menunjukkan penolakannya terhadap kepemimpinan Aburizal Bakrie yang mereka anggap gagal menaikkan derajat Partai Golkar. Sosok tersebut di antaranya Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Agus Gumiwang, Agun Gunandjar, hingga Yorrys Raweyai.
Mereka menentang diadakannya Musyawarah Nasional Partai Golkar yang saat itu direncanakan akan dilaksanakan di Bali dan meminta Munas digelar pada 2015. Namun, permintaan mereka tidak digubris dan Aburizal Bakrie malah memecat mereka saat Munas Bali digelar.
Tidak terima, Agung cs akhirnya menggelar Munas tandingan yang diadakan di Ancol hanya selang beberapa hari setelah Munas Bali selesai dilaksanakan. Dualisme kepengurusan tersebut akhirnya sampai ke meja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kemenkumham menentukan kedua kubu harus berdamai terlebih dahulu sebelum kepengurusan mereka disahkan oleh pemerintah.