KOLOM

Ajal (Tidak) Selalu Datang Tiba-Tiba

Yusuf Arifin | CNN Indonesia
Minggu, 18 Jan 2015 13:07 WIB
Silang pendapat selalu terjadi dalam sebuah hipotesa, meraba kemungkinan, konsekuensi dan keputusan. Termasuk hukuman mati salah satunya.
Hukuman mati selalu menuai kontroversi, alasan kemanusiaan dan keadilan bagi korban saling silang berseteru. (Ilustrasi penulis/Dok CNN Indonesia)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Yusuf Arifin adalah Pemimpin Redaksi CNN Indonesia. Tulisan opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Manusia selalu bersilang pendapat ketika harus berurusan dengan hipotesa. Meraba-raba sebuah kemungkinan. Meraba-raba konsekuensi akan sebuah keputusan. Hukuman mati salah satunya.

Bagi yang membela hukuman mati: memastikan si pelaku tidak akan bisa mengulangi tindakannya, memberi rasa keadilan bagi keluarga korban atau korban (dalam kasus pembunuhan terencana misalnya) bahwa pelaku kejahatan telah dihukum serupa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hukuman mati lebih penting lagi dianggap bisa menjaga tatanan dan hukum, menjadi deteren (berfungsi pencegahan---menakut-nakuti---pelajaran) agar orang tidak lagi melakukan tindak kejahatan (berat) serupa.

Tetapi bagi mereka yang menentangnya, cara berpikir itu minus kasih sayang dan permaafan. Menafikkan fitrah manusia untuk bisa bertobat, menyesali tindakan, dan memperbaiki diri. Bukankah ‘’hukuman’’ juga mempunyai sisi koreksi (perbaikan)?

Mereka juga berkilah, fungsi deteren hukuman mati terbukti tidak efektif. Bukankah kejahatan serupa apapun bentuknya  masih saja terulang? Artinya, bukan pada hukuman yang akan mencegah orang untuk berbuat kejahatan tetapi pada sesuatu yang lebih besar dari sekadar hukuman itu sendiri.

Tentu saja mereka yang menolak hukuman mati juga tidak bisa menjamin bahwa si penerima hukuman akan kemudian benar memperbaiki diri, menyesali tindakan, atau bertobat. Bahkan kalaupun mereka melakukan itu semua, tidak ada juga jaminan bahwa di masa depan mereka tidak akan tergoda untuk melakukan kejahatan serupa.

Memang banyak sekali contoh dari mereka yang lolos hukuman mati diubah menjadi hukuman seumur hidup betul-betul bertobat dan menjadi manusia yang lebih baik. Tetapi sama banyaknya mereka yang terhukum alih-alih bertobat, malah menjalankan kejahatan dari balik terali besi.

Tidak perlu jauh-jauh ke Amerika misalnya untuk mendengar cerita para gembong penjahat yang masih bisa aktif beroperasi. Di Indonesia, Meirika Franolla sempat dijatuhi hukuman mati pengadilan Tangerang tahun 2000 karena kasus peredaran Narkoba dan mendapat grasi menjadi hukuman seumur hidup dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2011. Namun terbukti ia masih mampu menjalankan operasi peredaran barang haram ketika salah satu kurirnya tertangkap di Bandung tahun 2012 dengan sabu seberat 775 gram.

Satu-satunya kepastian dari hukuman mati hanyalah menghapus salah satu misteri kehidupan: kapan ajal datang. Keniscayaan ajal dilimpahkan secara mekanis ke tangan manusia. Dan manusia (terpidana mati) bisa memilih apa yang akan dilakukan untuk menghadapinya. Seperti ditulis oleh William van Poyck, seorang terpidana mati di penjara Florida yang dieksekusi tahun 2013 dalam blog ‘’Death Row Diary’’:

95 persen barang pribadi telah saya buang atau berikan kepada orang lain. Barang-barang yang sebelumnya saya anggap penting.
Tumpukan buku yang tak sempat saya baca. Lusinan kertas pembelaan hukum yang selama 20 tahun saya pelajari dan bawa ke mana-mana. Semuanya tidak relevan lagi.

Saya malas membaca koran dan majalah atau menonton TV. Apa gunanya saya tahu apa yang terjadi di Timur Tengah atau Wall Street? Sia-sia.
Kemarin saya hendak mengambil jatah asupan vitamin harian. Saya batalkan. Seperti juga saya telah berhenti berolahraga setelah 40 tahun disiplin melakukannya. Sekali lagi, buat apa saya melakukan semua itu, toh saya tahu kapan akan mati.
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER