Medan, CNN Indonesia -- Peristiwa pemerkosaan itu masih terpatri nyata di benak Hadijah (bukan nama sebenarnya). Kala itu, ia masih berusia 23 tahun. Baginya, dunia serasa runtuh seketika, melebur bersama dengan rasa malu yang dipendamnya. Trauma, depresi, hingga percobaan bunuh diri pernah dialaminya.
Namun, Hadijah (36) bangkit. Ia belajar sesuatu, yang tak akan mudah diterima di lingkungan patriarki, serta orang-orang yang hanya memandang kaum perempuan sebagai objek dengan dalih budaya dan tafsir agama.
“Keperawanan bukan satu-satunya aset bagi perempuan menjalani hidupnya. Bukan berarti bila hilang keperawanan, lantas hilang harga diri, hilang hak hidup,” ujar Hadijah yakin.
Atas dasar pemahaman itu, Hadijah kini dapat melangkah mantap menjalani kembali hidupnya. Ia tidak terkungkung dalam pemahaman sempit bahwa keperawanan adalah simbol kehormatan kaum hawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kehormatan serta hak kita sebagai perempuan bukan hanya dari selaput dara. Bila menganggap selaput dara hilang lalu harga diri perempuan hilang, sama saja dengan bodoh. Harga diri dan kehormatan itu dinilai dari hati,” katanya lagi.
Hadijah kemudian menemukan pasangan hidupnya, seorang pria yang bekerja sebagai tukang becak. “Dia tahu masa lalu saya, tetapi dia pula yang kemudian melakukan kekerasan terhadap saya,” ujar Hadijah sembari mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
Sudah beberapa kali Hadijah mengalami kekerasan dalam rumah tangga, baik itu berupa verbal maupun fisik. Ia kemudian bergabung dengan sebuah organisasi nonprofit yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan, Perkumpulan Sada Ahmo (Pesada), Medan.
Melalui organisasi ini, Hadijah belajar soal hak-haknya sebagai perempuan. Bahwa, perempuan tidak berhak dipukuli, dengan alasan apapun itu. Hadijah kemudian memilih sabar, tidak lantas mengajukan cerai dengan suami karena alasan anak-anak.
“Saya memilih untuk tegas terhadap suami, ternyata lambat laun dia bisa memahami saya. Dan kemudian mendukung saya untuk aktif di organisasi ini,” kata ibu dari dua orang anak ini.
Bila sebelumnya Hadijah tidak punya penghasilan, setelah mengikuti Pesada, Hadijah kemudian membuka usaha kecil-kecilan. “Saya mau jadi ibu rumah tangga, asal ada usaha. Sekarang saya berjualan jajanan serta gorengan di rumah,” tuturnya.
Dengan kemampuannya berbicara dengan lebih baik, Hadijah mengaku telah berhasil mengubah tabiat suaminya yang suka ‘main tangan’. “Intinya sekarang kehidupan saya sudah lebih baik. Ketika ada masalah rumah tangga, itulah saatnya introspeksi. Jangan sampai begitu mudah berujung pada perceraian,” ucapnya.
Bahkan, ia kini juga menjadi moderator bagi perempuan korban kekerasan seksual. “Saya sudah pernah mengalami kekerasan tersebut, kini saya akan berusaha untuk menguatkan perempuan lainnya yang pernah mengalami nasib yang sama,” katanya.
Kekerasan domestikBerbeda dengan Hadijah, Maryani (bukan nama sebenarnya) mengalami pemerkosaan di lingkup domestik. Artinya, pelakunya adalah suaminya sendiri. Selama bertahun-tahun, Maryani mengalami kekerasan seksual tersebut dan menyimpannya rapat-rapat.
Namun, kemudian, ia bergabung dengan organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang pembedayaan perempuan bernama Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (Hapsari), Medan. Melalui organisasi ini, Maryani (43) jadi tahu apa itu kekerasan seksual dan bagaimana agar berani berbicara untuk melawannya.
Bukan berarti bila hilang keperawanan, lantas hilang harga diri, hilang hak hidupHadijah (Bukan nama sebenarnya), salah satu korban kekerasan seksual, menetap di Medan |
“Dulu suami saya kerap memaksa untuk berhubungan seksual, padahal saya sudah menolak. Malah, ketika saya menyatakan penolakan, dia memperkosa saya di tempat tidur,” ucap Maryani mengenang.
Semenjak bergabung dengan komunitas pemberdayaan perempuan, Maryani belajar apa itu kepemimpinan dan gender. “Pengetahuan gender membuka pikiran saya bahwa peran perempuan tidak hanya di rumah, tetapi juga bisa mengambil keputusan,” kata ibu dari tiga orang anak ini.
Namun, yang terpenting, Maryani kini sudah berhasil melakukan perlawanan setiap suaminya memaksa berhubungan seksual. “Akhirnya saya punya daya tawar dengan suami. Dia jadi mau mendengarkan saya dan hak-hak saya pun terpenuhi,” katanya kemudian tersenyum.
Kini, Maryani bukan hanya bisa bangga karena ia telah berhasil lepas dari jeratan kekerasan seksual, tetapi juga menjadi pendamping bagi perempuan lainnya untuk keluar dari jeratan kejahatan tersebut.
“Kami memulainya dengan pemberdayaan diri kita masing-masing, yaitu harus bisa keluar dari permasalahannya sendiri sebelum membantu orang lain. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kami menjadi lebih peduli pada kekerasan terhadap perempuan di lingkungan kami,” kata Maryani yakin.
Pemahaman soal gender juga ia bawa ke lingkungan keluarganya. Salah satunya, yaitu dengan penerapan pendidikan kepada anak yang adil gender. “Saya punya dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Di rumah, baik anak perempuan maupun laki-laki mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci, menyetrika, mengepel, menyapu, dan lainnya. Kami didik secara sama,” katanya.
(utd)