Jakarta, CNN Indonesia -- Beban proses hukum Nenek Asiani makin terasa berat sejak dia ditahan 15 Desember 2014 di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Situbondo. Ia dituduh atas pencurian kayu milik Perhutani Situbondo, Jawa Timur.
Supriono, salah seorang kuasa hukum Nenek Asia dari LBH Nusantara ingat betul pertemuan pertamanya dengan sang nenek. "Saat itu Minggu, 4 Januari 2015, kami bertemu pertama kali di Penjara Situbondo," katanya.
Pertemuan pertama itu bukanlah hal yang mudah. Nenek Asiani masih sangat tertutup. Tapi bagi Supriono, itu hal yang sangat wajar mengingat kondisi Asiani yang sangat menyedihkan. "Coba bayangkan saja, Nenek Asiani itu buta huruf, tidak bisa berbahasa Indonesia. Dia hanya bisa bericara bahasa Madura yang
medhok. Dan dia harus menjalani proses hukum yang buat orang biasa saja berat," ingatnya.
Butuh waktu cukup lama, ungkap Supriono untuk meyakinkan Nenek Asiani bahwa mereka ingin membantu. Selain itu, agak sulit juga untuk menjelaskan rumitnya proses hukum yang harus dijalani Nenek Asiani ke depan dalam bahasa sederhana yang mudah dimengerti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akhirnya Supriono bilang bahwa dirinya ingin membantu Nenek Asiani karena yakin dia tak bersalah. Dan itu semua gratis, tanpa biaya. "Akhirnya Nenek Asiani setuju memberikan kuasa kepada kami. Dia akhirnya mau memberikan cap jempol di surat kuasa yang telah kami siapkan sebelumnya," ungkap Supriono.
Sebelum memutuskan bertemu dengan Nenek Asiani di LP Situbondo, tim hukum LBH Nusantara melakukan pencarian segala informasi soal Nenek Asiani. Yang utama, sumber informasi itu adalah dari saudaranya, para tetangganya. Mengumpulkan informasi itu juga bukan hal mudah. "Mereka semua awalnya tertutup karena takut. Kami dipikir aparat soalnya," tuturnya.
Senin (16/3) pekan depan, Nenek Asiani akan kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Situbondo. Agenda sidang itu adalah pembacaan putusan sela. "Kami sih berharap ada putusan bijaksana dari hakim atas kasus Nenek Asiani ini," ujarnya. Banyak penilaian pengadilan ini tak seimbang, seorang nenek buta huruf, yang tak bisa bertandatangan, harus dihadapkan ke meja hijau dengan segala kerumitan prosesnya.