Jakarta, CNN Indonesia -- Meski hasil survei Poltracking menempatkan Jokowi sebagai calon terkuat untuk menjadi Ketua Umum PDIP, namun pengamat politik dari LIPI Ikrar Nusa Bakti, yakin Megawati Soekarnoputri akan tetap jadi ketua umum.
Hal itu ia ungkapkan saat pemaparan hasil riset Poltracking yang bertajuk "Kongres PDIP: Regenerasi atau Degenerasi? Mengukur Kapabilitas dan Akseptabilitas Tokoh Potensial Pemimpin PDIP," kata Ikrar, kemarin (22/3)
"Tampaknya tahun ini tidak akan ada pemilihan umum PDIP. Megawati akan tetap melanjutkan kepemimpinannya," kata Pakar Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Ikrar Nusa Bhakti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Ikrar, Megawati telah berhasil membangun kader-kader PDIP. Namun, Megawati dinilai belum berhasil menjadikan kader tersebut sebagai penggantinya. "Bahkan, anak perempuan dan anak laki-lakinya sendiri tidak bisa ia jadikan sebagai penggantinya," kata Ikrar.
Pada survei yang dilakukan oleh Poltracking, ada sembilan kader PDIP yang dinilai dalam survei ini, yaitu: Joko Widodo, Ganjar Pranowo, Pramono Anung, Hasto Kristianto, Maruarar Sirait, Megawati Soekarnoputri, Prananda Prabowo, Puan Maharani, dan Tjahjo Kumolo.
Dalam riset tersebut, Puan menduduki posisi teratas untuk aspek figur paling tidak direkomendasikan sebagai ketum PDIP dengan presentase 25,04 persen. Kemudian, disusul oleh Prananda (17,64 persen) dan Megawati (16,91 persen).
Untuk rerata total penilaian sepuluh aspek, trah Soekarno juga menduduki posisi terendah, yaitu Puan (5,74 persen), Prananda (5,93 persen), dan Megawati (6,44 persen).
Sementara, Jokowi merupakan figur paling direkomendasikan sebagai ketum PDIP. Ia mendapatkan poin 29,35 persen. Selain Jokowi, Pramono dan Ganjar juga diunggulkan dengan perolehan poin masing-masing sebesar 28,73 persen dan 19,85 persen.
Meski Megawati diperkirakan bakal jadi Ketua Umum PDIP, namun, sebagai partai, PDIP harus berbenah jika ingin tumbuh menjadi partai modern dan sehat.
Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk menilai publik mulai lelah dengan dinasti politik yang selalu terjadi di Indonesia. Menurutnya, sudah saatnya partai politik (parpol) melakukan regenerasi agar publik kembali percaya kepada parpol.
Hamdi berpendapat akar masalah mandeknya regenerasi parpol adalah karena pembiayaan parpol yang tidak jelas. "Orang mulai capek melihat dinasti politik ini. Yang menjadi ketum selalu orang-orang yang sudah tidak muda lagi," kata Hamdi.
Menurutnya, Indonesia bisa mencontoh Amerika Serikat di mana parpol dibiayai oleh pemerintah. Bila sudah begitu, kata Hamdi, maka parpol harus memberikan kontribusi positif dan jelas kepada masyarakat.
(pit/hel)