Belasan Ribu Anak Nikah Dini karena Terlanjur Hamil

Yohanie Linggasari | CNN Indonesia
Selasa, 14 Apr 2015 08:36 WIB
Belasan ribu anak Indonesia menikah dini tahun lalu. Badan Riset dan Training Center Rifka Annisa mencatat tren pernikahan dini dan angka perceraian naik.
Ilustrasi pernikahan
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Peradilan Agama mencatat sebanyak 11.774 anak Indonesia melakukan pernikahan dini pada tahun 2014. Penyebab utamanya adalah hamil di luar nikah.

Angka tersebut masih dinilai tinggi oleh para aktivis perempuan dan anak.  Manajer Riset Dan Training Center Rifka Annisa, Saeroni mencatat tren pernikahan dini terus naik, begitu juga dengan angka perceraian. Pada 2014, ada 254.951 gugat cerai dan 106.608 cerai talak.

"Dari riset yang kami lalukan dengan para hakim, ditemukan bahwa mereka yang menikah di usia dini rentan mengalami perceraian," kata Saeroni saat ditemui di kawasan Cawang, Jakarta Timur, Senin (13/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah ketidaksiapan para calon pengantin yang masih di bawah umur dalam memasuki kehidupan ruma tangga. Bukan hanya itu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga kerap jadi alasan.

"Ada pula faktor ekonomi. Namun, 90 persen kasus perceraian mengindikasikan adanya KDRT," kata Saeroni. Belum lagi, para anak yang menikah dini tersebut kerap tidak mengerti kesehatan reproduksinya sendiri.

Lebih lanjut, Saeroni menjelaskan para anak yang melakukan pernikahan dini tersebut mayoritas terpaksa melakukannya karena pihak perempuan telah hamil di luar nikah. Pengadilan Agama pun akhirnya meluluskan permohonan menikah dengan alasan agar anak dalam kandungan tersebut dapat memilki hak-haknya.

Rifka Annisa yang pernah melakukan riset di Yogyakarta menyimpulkan bahwa anak-anak di wilayah terpencil lebih rentan melakukan pernikahan dini. "Berbeda dengan anak di daerah pinggiran, anak di perkotaan dapat dengan mudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan terkait kesehatan seksual dan reproduksi," katanya.

Kurangnya pemahaman gender dalam diri remaja juga menjadi salah satu penyebab. Dijelaskan Saeroni, ada fenomena di mana para anak laki-laki menganggap bahwa ketika mereka berpacaran, maka mereka baru akan merasa maskulin bila sudah bisa berhubungan seksual dengan pasangannya.

"Ada anggapan, kalau belum melakukan hubungan seksual, maka belum 'laki'. Apalagi, mereka kerap ditekan juga oleh teman mainnya," kata Saeroni.

Untuk menekan pernikahan anak, Saeroni berpendapat perlunya kerja sama antar semua pihak, baik itu pemerintah dan masyarakat. Masyarakat dapat berperan lewat komunitas.

"Dimulai dari penguatan komunitas, lalu dari komunitas memberdayakan para anak di sekitarnya. Yang paling penting adalah para anak sadar akan kesehatan reproduksinya sehingga bisa lebih bijaksana mengambil keputusan," katanya.

Penguatan segala elemen dianggap perlu. Misalnya, kepala desa bekerja sama dengan pusat kesehatan masyarakat atau tokoh agama setempat untuk mengedukasi anak-anak.

Sementara itu, pemerintah diharapkan dapat lebih pro aktif dalam membuat kebijakan yang ramah anak. Misalnya, perlunya revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Sekarang ini, UU Perkawinan menetapkan batas usia pernikahan untuk anak perempuan yaitu 16 tahun sementara laki-laki 19 tahun.

Kebijakan itu, menurut Saeroni, sangat kontras dengan UU Nomor 23 Tahun 2012 Perlindungan Anak yang menganggap anak adalah yang berusia 18 tahun. Dengan kata lain, negara telah melegalkan pernikahan anak itu sendiri.

Setidaknya, kata Saeroni, para pengambil kebijakan bisa merevisi UU Perkawinan dengan menaikkan batas usia menikah menjadi di atas 18 tahun.

"Namun, kalau dari segi kesehatan, mungkin sebaiknya di atas 22 tahun mengingat perempuan akan lebih matang secara reproduksi," katanya.

Perjuangan revisi UU tersebut, menurut Saeroni, telah dilakukan banyak lembaga swadaya masyarakat dan aktivis. Sudah dilakukan lama dan menyita begitu banyak energi. "Sayangnya, pemerintah tampaknya belum peduli," katanya.

Adapun, Rifka Annisa merupakan sebuah LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan. Berasal dari bahasa Arab yang berarti "Sahabat Perempuan", LSM ini didirikan pada 1993 dan berbasis di Yogyakarta. (hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER