Jakarta, CNN Indonesia -- Martin Anderson ditangkap di rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada November 2003 atas kepemilikan 50 gram heroin. Pada Juni 2004, Pengadilan Negeri Jaksel memutuskan vonis mati pada Anderson.
Tim kuasa hukum warga Nigeria ini meminta grasi langsung kepada Presiden Joko Widodo. Namun sayangnya, pada 9 Januari 2014, Presiden Jokowi menolak grasi Anderson, yang membawanya langsung ke dalam daftar terpidana calon eksekusi mati.
Pada Maret 2015, tim kuasa hukum kembali mengajukan PK kepada pemerintah Indonesia. Namun pengajuan PK tersebut ditolak oleh majelis hakim dengan alasan tidak beralasan menurut hukum. Sidang Anderson diketuai oleh Artidjo Alkostar dengan anggota Suhadi dan Prof Suryajaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas penolakan tersebut, Martin mengungkapkan kekecewaannya. Alasannya, dia mempertanyakan kepemilikan heroin yang hanya mencapai 50 gram mesti mendapatkan hukuman vonis mati. Setelah penolakan PK, Martin, kemudian memutuskan untuk pasrah dan meminta agar setelah eksekusi, jenazahnya dimakamkan di Bekasi, dekat rumah isterinya.
November 2003Anderson ditangkap atas kepemilikan 50 gram heroin di Kelapa Gading.
Juni 2004Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan vonis mati pada Anderson.
9 Januari 2014Presiden Joko Widodo menolak grasi Anderson beserta tiga permohonan yang lain, diantaranya Raheem Agbaje Salami (Spanyol), Rodrigo Gularte (Brasil) dan Zainal Abidin.
Maret 2015Sidang Peninjauan Kembali Anderson digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
22 April 2015Pihak Mahkamah Agung menolak pengajuan PK Anderson.
23 April 2015Surat perintah eksekusi mati dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung.
(rdk)