Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa Agung HM Prasetyo membantah tuduhan mendiskriminasi delapan sembilan terpidana mati karena mengeluarkan terpidana asal Perancis, Serge Areskri Atlaoui, dari daftar eksekusi mati.
"Semua sama di hadapan hukum. Kami tidak membedakan," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa malam (28/4).
Dia menyatakan semua hak terpidana dipenuhi dengan sebaik-baiknya. "Bahkan hak mereka sudah kami berikan lebih," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang dimaksud "lebih" oleh Prasetyo adalah pemenuhan permintaan tidak lazim seperti yang diinginkan Andrew Chan, terpidana asal Australia. Dia meminta untuk dinikahkan dengan kekasihnya kemarin, dua hari sebelum dieksekusi.
Selain itu, Prasetyo menyebut terpidana asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso yang mengajukan gugatan peninjauan kembali untuk kedua kalinya. "Kami biarkan, meski pada akhirnya ditolak juga," kata dia.
Selain Atlaoui yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara, para terpidana lain juga memang mengupayakan untuk membatalkan eksekusinya.
Misalnya, selain Veloso yang mengajukan PK kedua, terpidana mati asal Brasil, Rodrigo Gularte juga mengajukan gugatan penolakan grasi oleh Presiden Jokowi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hari ini, Selasa (28/4).
Namun, hanya Atlaoui yang dicoret dari daftar eksekusi gelombang kedua ini.
Menurut Prasetyo, keputusan ini murni karena menghargai proses hukum yang sedang dijalani Atlaoui. "Kami sedang proses, kami tidak boleh mendahului proses hukum."
Pemerintah Perancis pun gencar melakukan upaya diplomatis untuk menyelamatkan Atlaoui. Terkait hal ini, Prasetyo memastikan Kejaksaan sama sekali tidak terpengaruh.
"Ya negara-negara yang warganya dipidana mati pasti akan sangat melakukan pendekatan ke pemerintah. Tapi itu tidak akan memengaruhi kedaulatan bangsa," kata Prasetyo.
(pit)